Hukum Melakukan Perayaan di Kuburan

 

Menurut tuntunan Nabi Muhammad SAW, ziarah kubur itu tidak terikat dengan waktu maupun tempat (kuburan) tertentu. Artinya, tidak perlu mengkhususkan waktu tertentu untuk ziarah yang kemudian dirutinkan dan terus berulang dengan datangnya musim tersebut, misalnya kebiasaan ziarah sebelum Ramadhan. Karena, tujuan ziarah adalah mendoakan penghuni kubur yang muslim dan untuk mengingat kematian, dengan harapan kita giat berbuat kebajikan, tidak menunda-nunda taubat dan lebih mengutamakan akherat dari pada dunia.

 

Namun, jika kita amati praktek ziarah kubur di zaman ini, maka didapatkan:

 

  1. Ziarah dilakukan pada waktu, atau musim tertentu dan terus berulang dengan datangnya musim tersebut. Seperti kebiasaan ziarah kubur sebelum memasuki Bulan Ramadhan;
  2. Ziarah dilakukan dengan memilih kuburan tertentu meskipun harus menempuh jarak yang jauh, bahkan dengan safar. Seperti, ziarah ke kuburan orang yang dikira shalih, atau bahkan seorang wali Allah;
  3. Ziarah dilakukan bukan hanya untuk mendoakan jenazah seorang muslim, atau untuk mengingat akhirat, akan tetapi untuk berkumpul di sana dan melakukan berbagai ritual ibadah, hingga seolah kuburan tersebut menjadi masjid.

 

Jika dibandingkan dengan praktik Nabi Muhammad SAW dan para shahabat y tampak jelas bedanya. Sementara, banyak juga orang yang melakukannya, bahkan diserukan pihak yang dipandang sebagai seorang pemuka agama.

 

Maka dari itu, penting untuk mengetahui pandangan Islam mengenai hal ini, sehingga akan jelas: mana yang benar untuk diikuti dan mana yang salah guna dijauhi.

 

Menjadikan Kuburan Sebagai Perayaan

 

Terdapat hadits yang menyebutkan, bahwa Nabi e melarang kita menjadikan kuburan sebagai perayaan, atau dalam Bahasa Arab dinamakan ‘ied. Jika kita melihat penjelasan para ulama tentang maksud dari menjadikan kuburan sebagai perayaan, maka beberapa hal yang dilakukan sebagian kaum muslimin, seperti ziarah kubur di musim-musim tertentu secara rutin dan terus berulang baik tahunan, bulanan maupun mingguan, adalah perbuatan menjadikan kuburan sebagai perayaan.

 

Nabi Muhammad SAW bersabda,

 

لاَ تَجْعَلُوا بُيُوْتَكُمْ قُبُورًا وَ لاَ تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيْدًا وَ صَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ

 

“Jangan jadikan rumah-rumah kalian kuburan dan jangan jadikan kuburanku sebagai tempat berkumpul-kumpul dan rutin dikunjungi! Bershalawatlah kepadaku, sesungguhnya shalawat kalian sampai kepadaku dimanapun kalian berada!” [HR. Abu Dawud, dinilai shahih oleh Imam An Nawawy, Asy Syafi’i dan juga Syaikh Al-Albany]

 

Dan berikut ini penjelasan para ulama tentang maksud menjadikan kuburan sebagai perayaan (‘ied):

 

  1. Penjelasan Imam Syamsul Haq Al Azhim Abady (Penulis Kitab ‘Aunul Ma’bud)

 

Dalam Kitab ‘Aunul Ma’bud (Syarah Sunan Abu Dawud) disebutkan:

 

Diambil (hukum) dari hadits ini, bahwa berkumpulnya kebanyakan manusia di beberapa kuburan para wali di hari, atau bulan tertentu dalam satu tahun dan mereka mengatakan: “Ini adalah hari kelahiran ‘Syaikh’, mereka makan dan minum (di sana) dan terkadang mereka berjoget (dalam rangka ibadah, sebagaimana dilakukan pengikut tasawwuf), maka (semua itu) adalah perkara yang diharamkan agama. Wajib bagi pihak yang berwenang melarang mereka dari itu semua, mengingkari mereka dan memberantasnya.” [Kitab ‘Aunul Ma’bud, Jilid 2, Halaman 955, Cetakan Daar Ibnu Hazm Beirut, Libanon]

 

  1. Penjelasan Imam Jalaluddin As Suyuthy Asy Syafi’i

 

Imam Jalaluddin ‘Abdurahman bin Al Kamal Al Khudhairy As Suyuthy (salah seorang ulama besar madzhab Syafi’i) berkata:

 

“Dan telah datang satu hadist dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda:

 

“Jangan jadikan rumah-rumah kalian kuburan dan jangan jadikan kuburanku sebagai tempat berkumpul-kumpul dan rutin dikunjungi! Bershalawatlah kepadaku, sesungguhnya shalawat kalian sampai kepadaku dimanapun kalian berada!” [HR. Abu Dawud, dinilai shahih oleh Imam An Nawawy, Asy Syafi’i dan juga Syaikh Al-Albany]

 

Beliau berkata, “Sisi pendalilan (dari hadits di atas), yaitu kuburan Nabi Muhammad e adalah sebaik-baik kuburan di muka bumi, meskipun demikian beliau e sungguh-sungguh melarang dari merubahnya menjadi perayaan. (Yaitu) diambil dari kata mu’awadah ilaihi (yang maknanya) menjadikan kuburan Nabi e sebagai tempat berkumpul-kumpul, atau dikunjungi secara rutin di musim-musim tertentu, maka kuburan selain kuburan Nabi Muhammad SAW lebih dilarang lagi.

 

Kemudian Nabi Muhammad SAW mengiringi sabdanya itu dengan sabdanya:

 

“… dan jangan jadikan rumah-rumah kalian kuburan …!.”

 

Yaitu (maknanya): jangan kalian kosongkan rumah dari ibadah shalat, doa dan membaca Al Qur-an, sehingga seolah seperti kuburan. Maka Nabi SAW memerintahkan agar melaksanakan ibadah di dalam rumah dan melarang dari melakukan ritual ibadah di kuburan, berbeda dengan apa yang biasa dilakukan orang-orang musyrik dari kalangan Nashrani dan yang menyerupai mereka….” [Kitab Al Amru bil Ittiba’, wan Nahyu ‘Anil Ibtida’, Halaman 125-127, Tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Salman]

 

  1. Penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah

 

Manakah yang dimaksud dengan sabda Nabi Muhammad SAW? Yang pertama, yaitu (‘ied dalam arti) perbuatan yang berulang dengan berulangnya tahun, atau (‘ied dalam arti) mengunjungi tempat secara berulang-ulang?

 

Yang nampak adalah yang ke-dua, (makna sabda Nabi SAW, “Jangan jadikan kuburanku sebagai perayaan!” adalah), yaitu:  “Jangan rutin mengunjungi kuburanku dan berulang-ulang, apakah mereka mengaitkannya dengan tahunan, bulanan, atau mingguan, karena Nabi e melarang hal ini. (Yang benar kuburan Nabi e) diziarahi karena suatu sebab, sebagai contoh seseorang datang dari safar, lalu dia pergi ke kuburan Nabi e dan menziarahinya, atau menziarahi kuburan Nabi e dalam rangka mengingatkan diri akan akhirat, seperti kuburan lain selain kuburan Nabi e.” [Al Qaulul Mufid, Jilid 1, Halaman 458, Cetakan Daar Al ‘Ashimah lin Nasyr wat Tauzi’]

 

Manusia Menjadikan Kuburan Sebagai Perayaan Karena Kuburan Orang Shalih Itu Dibangun

 

Tidak diragukan lagi, bahwa diantara sebab manusia berkumpul-kumpul di kuburan dalam waktu-waktu tertentu baik untuk ibadah maupun tidak, karena kuburan tersebut diistimewakan tidak seperti kuburan-kuburan yang lain. Yaitu, dengan cara kuburan itu dibangun hingga tinggi dan menyolok.

 

Maka dari itu, Nabi Muhammad SAW melarang kita dari membangun kuburan. Dari Jabir , beliau berkata:

 

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ

 

“Rasulullah melarang dari memoles (mengapur) kuburan, duduk di atas kuburan dan membuat bangunan di atasnya.” [HR. Muslim, Riyadhush Shalihin, no. 1767]

 

Yang dimaksud membuat bangunan di atas kuburan adalah membuat kubah di atas kuburan, atau bangunan-bangunan yang lainnya. [Bahjatun Nazhirin (3/216)]

Imam Asy Syaukany berkata:

“Ketahuilah, sesungguhnya ulama dulu maupun sekarang, generasi awal maupun generasi akhir dari (zaman) shahabat Nabi Muhammad SAW sampai saat ini (zaman Imam Asy Syaukany) sepakat (tidak ada perbedaan pendapat), bahwa meninggikan kuburan dan membangunnya adalah termasuk bid’ah yang telah pasti larangannya. Nabi Muhammad SAW mengancam keras bagi yang melakukannya dan tidak ada seorang pun dari Kaum Muslimin seluruhnya yang menyelisihinya ….” [Kitab Syarhu Ash Shudur bi Tahrimi Raf’il Qubur, Ta’liq Syaikh ‘Abdul Muhsin Al Badry, Halaman 436]

 

Sebab Terjadinya Syirik di Muka Bumi Adalah Mengagungkan Kuburan Orang Shalih

 

Jika dicermati lebih dalam lagi, berkumpul-kumpul di kuburan orang shalih di musim-musim tertentu termasuk bentuk pengagungan terhadap kuburannya dan mengagungkan kuburan adalah perbuatan yang menyebabkan terjadinya syirik di muka bumi. Awalnya, memang manusia tidak menyembah kuburan itu, mereka sekedar berkumpul-kumpul di sekitar kuburannya untuk mengenang orang shalih tersebut dan agar lebih semangat beribadah.

 

Seiring berjalannya waktu, kuburan tersebut dijadikan tandingan bagi Allah, disembah-sembah, dicari keberkahannya dan sebagainya dari perbuatan-perbuatan yang sangat dibenci Allah, Rasulullah e dan orang-orang beriman.

 

Imam Asy-Syaukany juga berkata, “Allah berfirman:

 

Nuh berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya, melainkan kerugian belaka dan melakukan tipu-daya yang amat besar.”

Dan mereka berkata, “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd dan jangan pula Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr!” [QS. Nuh: 21-23]

 

Mereka adalah orang-orang shalih dari umatnya Nabi Adam AS dan memiliki pengikut yang mengikuti jejak mereka. Ketika orang-orang shalih itu meninggal, para pengikutnya mengatakan: “Seandainya saja kita membuat gambar (patung mereka) pasti hal itu membuat kita lebih giat beribadah, ketika kita mengingat mereka.” Maka merekapun membuat gambar (patung) orang-orang shalih tersebut, ketika para pengikut yang membuat gambar ini meninggal dan datang generasi berikutnya, Iblis masuk ke tengah-tengah mereka dan berkata: “Orang-orang dari generasi sebelum kalian menyembah gambar-gambar (patung-patung ini), dengan sebab mereka penduduk diberi hujan, lalu mereka menyembahnya dan Bangsa Arab-pun menyembah mereka setelah itu.”

 

Dan diceritakan makna dari riwayat ini dalam Shahih Al Bukhari dari Ibnu ‘Abbas .

 

Beberapa orang dari kalangan salaf berkata:

 

“Mereka adalah orang-orang shalih dari umatnya Nabi Nuh AS, ketika mereka meninggal dunia manusia berdiam diri di sekitar kuburan mereka, kemudian mereka membuat patung-patung mereka. Kemudian, berlalu waktu yang panjang hingga akhirnya mereka menyembah patung-patung yang ada di sekitar kuburan tersebut.”

 

Hal ini juga dikuatkan dengan apa yang telah tsabit (pasti kebenarannya) di dalam Shahihain (Shahih Al Bukhari dan Muslim) dan lainnya yang diriwayatkan dari ‘Aisyah RA:

 

“Ummu Salamah pernah menceritakan kepada Rasulullah SAW tentang gereja yang dilihatnya di Negeri Habasyah dan menceritakan kepada Nabi e tentang gambar-gambar yang dilihatnya di sana, lantas Rasulullah SAW bersabda:

 

“Mereka itu adalah satu kaum yang jika ada seorang hamba shalih, atau orang yang shalih meninggal; mereka membangun masjid di atas kuburannya, kemudian membuat gambar-gambar mereka di sana. Mereka itu adalah sejelek-jeleknya makhluk di sisi Allah.”

 

Ibnu Jarir mencantumkan (satu riwayat yang shahih) dalam menafsirkan firman Allah: “Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap al Lata dan al Uzza?” [QS. An Najm: 19]

 

(Imam Mujahid) berkata, “Al Lata dan Al ‘Uzza adalah orang shalih yang biasa membuat makanan ‘Sawiq’ untuk jama’ah haji, lalu meninggal dunia dan manusia berkumpul-kumpul dan berdiam diri di sekitar kuburannya.” [Sanad riwayat ini dinilai shahih oleh Syaikh ‘Abdul Muhsin Al Badr]

 

Oleh: Fajri NS