Menghadapi Kesulitan Hidup  dengan Iman dan Takwa

Kesulitan hidup banyak macamnya, diantaranya adalah ketika harga ‘kebutuhan-kebutuhan hidup’ naik, seperti yang kita rasakan saat ini. Inilah warna dari sekian banyak warna-warni kehidupan dunia. Namun demikian, jangan kita berpikir, bahwa hidup ini seperti hitungan matematika. Misalnya, ketika angka 2 ditambah 2 hasilnya adalah 4. Seolah yang ada hanya hukum ‘sebab-akibat’. Tanpa menoleh sama sekali kepada ayat-ayat dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengingatkan kita, bahwa di atas semua itu ada Allah Maha Tinggi yang mengaturnya.

Sebagai seorang muslim, sesulit apapun kehidupan, jangan sampai meninggalkan ajaran yang ada dalam Al Qur-an, maupun As Sunnah. Karena dengan meninggalkan ajaran keduanya, justru hidup akan semakin sulit, semakin gelap dan sempit. Sebaliknya, dengan membuka kembali lembaran-lembaran mushaf Al Qur-an dan juga lembaran-lembaran As Sunnah, kita akan menemukan jawabannya.

A. Hakikat Takwa

Seorang salaf yang bernama Thalq bin Habib rahimahullah berkata:

“Jika terjadi ‘fitnah’ (kesulitan-kesulitan hidup), maka tolaklah dengan takwa!”

Ketika ditanya tentang ‘takwa’, beliau menjawab:

أَنْ تَعْمَلَ بِطَاعَةِ اللهِ عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ تَرْجُوْ ثَوَابَ اللهِ, وَ أَنْ تَتْرُكَ مَعْصِيَةَ اللهِ عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ تَخَافُ عِقَابَ اللهِ

 

“(Takwa adalah) engkau mengerjakan ketaatan kepada Allah, karena cahaya (hidayah) dari Allah (dalam keadaan) mengharap pahala dari Allah. Dan engkau meninggalkan maksiat karena cahaya (hidayah) dari Allah (dalam keadaan) takut siksa Allah.” [Dari Kitab Al Jami’ lil-Adab, Imam Ibnu ‘Abdil Barr]

Seperti inilah takwa, begitu besar perannya di saat kita menghadapi kesulitan hidup. 

B. Kemudahan dan Jalan Keluar dari Kesulitan Adalah Buah dari Iman dan Takwa

Berdasarkan apa yang Allah sebutkan tentang kesulitan yang pernah dialami Nabi Yunus, kala itu berada di dalam perut ikan paus:

فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَن لآ إِلَهَ إِلآ أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ

“.. maka ia (Yunus) menyeru dalam keadaan sangat gelap, ‘Bahwa tak ada Ilaah (yang berhak disembah), selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang dhalim.’.” [QS. Al Anbiya’: 87]

Allah berfirman:

فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ وَكَذَلِكَ نُنْـجِي الْمُؤْمِنِينَ

“Maka Kami memperkenankan doanya dan menyelamatkannya daripada kedukaan. Dan demikanlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” [QS. Al Anbiya’: 87]

Maksudnya:

Allah akan menyelamatkan orang-orang yang beriman ketika berada dalam kesulitan-kesulitan; sebagaimana Allah menyelamatkan Yunus ‘alaihis salaam ketika dia berada dalam kesulitan. Begitu juga orang yang bertakwa, Allah akan mudahkan kesulitannya dan memberinya jalan keluar.

Allah Ta’ala berfirman:

… وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا

“… barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” [QS. Ath Thalaq: 2]

Jalan keluar dari apa?

Syaikh As Sa‘di rahimahullah mengatakan:

مِنْ كُلِّ مَا ضَاقَ عَلَى النَّاسِ

“(Jalan keluar) dari semua yang menyusahkan manusia.”

Allah juga berfirman:

وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا

“… dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan kemudahan dalam urusannya.” [QS. Ath Thalaq: 4]

Syaikh As Sa‘di rahimahullah berkata:

“Dengan demikian, orang yang bertakwa dan beriman: Allah akan memudahkan urusan-urusannya, serta memudahkan dalam memperoleh segala kemudahan. Menjauhkan darinya segala kesulitan, memudahkan kesulitan yang menimpanya, memberikannya kebahagiaan setelah kedukaan yang menimpanya dan memberikannya jalan keluar dari semua kesempitan, serta memberinya rizki dari arah yang tidak dia sangka-sangka. Dalil yang menguatkan hal ini sangat banyak, baik dari Al Qur-an, maupun As Sunnah.” [Dari Kitab At Taudhih wal-Bayan li-Syajaratil-Iman, Syaikh As Sa’di rahimahullah]

Lebih dari itu, iman juga membuahkan ketenangan di hati, senantiasa merasa cukup dengan pemberian Allah dan hanya bergantung kepada Nya. Seperti inilah yang dimaksud dengan ‘kehidupan yang baik’.

Allah berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً …

“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik…” [QS. An Nahl: 97]

C. Kesulitan Hidup Adalah Dampak Buruk dari Maksiat dan Dosa

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

وَ مِنْهَا : تَعْسِيْرُ أُمُوْرِهِ عَلَيْهِ, فَلَا يَتَوَجَّه لِأَمْرٍ إِلَّا يَجِدُهُ مُغْلَقًا دُوْنَهُ أَوْ مُتَعَسِّرًا عَلَيْهِ, وَ هَذَا كَمَا أَنَّ مَنِ اتَّقَ اللهَ جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا, فَمَنْ عَطَّلَ التَقْوَى جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ عُسْرًا

“Diantara dampak buruk maksiat adalah: urusan-urusannya dipersulit, sehingga dia tidak mengarah kepada suatu urusan, kecuali dia dapati urusan tersebut ‘tertutup’ (tersendat), atau sangat sulit. Sebagaimana orang yang bertakwa kepada Allah akan memudahkan urusannya, maka orang yang merusak takwa, Allah akan mempersulit urusannya.” [Ad Daa’ wad-Dawaa’, hal. 85, Tahqiq dan Takhrij, Syaikh ‘Ali Hasan, cet. Dar Ibnul Jauzy, KSA]

Ibnul Qayyim rahimahullah juga berkata:

وَ كَمَا أَنَّ تَقْوَى اللهِ مُجْلِبَةٌ لِلرِّزْقِ, فَتَرْكُ التَقْوَى مُجْلِبَةٌ لِلْفَقْرِ

“… sebagaimana takwa mendatangkan rizki, maka tidak bertakwa mendatangkan kefakiran …” [Ad Daa’ wad-Dawaa’]

D. Melaksanakan Kewajiban Selaku Rakyat dan Meminta Hak Kita Kepada Allah

Imam Nawawi rahimahullah dalam Kitab Riyadhush Shalihin mencantumkan satu hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim, dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahuanhu, beliau berkata:

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّهَا سَتَكُوْنُ بَعْدِيْ أَثَرَةٌ وَ أُمُوْرٌ تُنْكِرُوْنَهَا

“Akan terjadi sesudahku nanti ke-egoisan penguasa dan (akan terjadi) beberapa hal yang kalian ingkari.”

Kemudian, para shahabat radhiyallahu ‘anhum bertanya tentang apa yang harus dilakukan, jika menemui keadaan yang seperti ini..

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:

تُؤَدُّوْنَ الْحَقَّ الَّذِيْ عَلَيْكُمْ وَ تَسْأَلُوْنَ اللهَ الَّذِيْ لَكُمْ

“Laksanakan kewajiban yang ada di pundak kalian (sebagai rakyat) dan kalian meminta hak (yang tidak diberikan penguasa) kalian kepada Allah (yang tidak diberikan penguasa).”

Inilah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika kita menghadapi penguasa yang  mementingkan dirinya sendiri. Yaitu, tetap melaksanakan kewajiban kita sebagai rakyat dan meminta hak kita kepada Allah.

Bisa dibayangkan ketika rakyat ‘turun ke jalan’, menuntut hak-hak mereka? Sementara keinginan rakyat sangat banyak. Belum lagi ada ‘pihak-pihak yang memanfaatkan kesempatan’ untuk menciptakan kekacauan. Yang terjadi hanyalah rusaknya stabilitas keamanan negara itu sendiri. Dan ketika stabilitas keamanan negara rusak, tentu seorang penguasa kesulitan, atau tidak bisa memperbaiki kesalahan-kesalahannya, terlebih lagi untuk memenuhi hak-hak rakyat. Dan cara-cara semacam itu tentu semakin membuat penguasa geram dan marah kepada rakyatnya.

Maka, benarlah apa yang dikatakan Para Ulama, bahwa Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam(Petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) itu bagaikan perahu keselamatan. Berpedoman dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, niscaya akan selamat dunia akhirat.

 

E. Kenali Allah di Saat Sulit

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

تَعَرَّفْ إِلَى اللهِ فِيْ الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِيْ الشِّدَّةِ

“Kenali Allah di saat lapang, niscaya Allah akan mengenalmu di saat sulit.” [HR. At Thabrani dan Al Hakim]

Maksudnya adalah agar kita lebih mengenal Allah di saat lapang, karena kita diperintah untuk mengenal Allah di semua keadaan, saat lapang maupun sulit.

Apakah yang Dimaksud Mengenal Allah?

Mengenal Allah bukan sekedar mengakui Allah itu ada. Karena, Iblis dan Fir’aun telah mengenal Allah, keduanya mengakui keberadaan Allah, hanya saja mereka tidak mau tunduk kepada perintah Allah, tidak mau menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan, maka mereka termasuk golongan orang-orang kafir.

Akan tetapi yang dimaksud mengenal Allah lebih dari itu, yaitu melaksanakan hak Allah yang diwajibkan atas kita semua. Hak Allah yang paling besar adalah tauhid, yaitu beribadah hanya kepada Allah, tidak beribadah kepada malaikat, tidak juga para nabi, para wali Allah, terlebih lagi kepada kuburan, berhala-berhala, binatang, pepohonan, pusaka-pusaka dan lain-lain. Kemudian, melaksanakan kewajiban-kewajiban agama yang lainnya, juga termasuk mengenal Allah.

Seseorang tidak bisa beribadah, kecuali dengan tuntunan seorang nabi yang diutus kepada umatnya. Maka dari itu, seseorang yang beribadah kepada Allah tidak mengikuti tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pada hakikatnya dia belum melaksanakan hak Allah, belum mengenal Allah.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, bahwa tafsir sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Kenali Allah….!”

Adalah: “Laksanakan hak Allah di saat sehat dan kecukupan!

Sedangkan tafsir dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

“… niscaya Allah akan mengenalmu di saat sulit….”

Adalah: Niscaya Allah mengenalmu, menolongmu di saat engkau membutuhkan Allah, lantaran ibadah yang engkau kerjakan di saat sehat dan kecukupan….”

F. Mencontoh Tawakalnya Seekor Burung

Imam Nawawi rahimahullah di dalam Kitab Riyadhush Shalihin mencantumkan satu hadits riwayat Tirmidzi dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَلُوْنَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ, لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَيْرَ تَغْدُوْ خِمَاصًا وَ تَرَوْحُ بِطَانًا

“Seandainya kalian tawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, pasti Allah memberi kalian rizki, sebagaimana Allah memberi rizki kepada seekor burung yang keluar (dari sarang) di pagi hari dalam kondisi perut kosong dan kembali (ke sarang) di sore hari dalam kondisi perut kenyang.”

Tawakal yang benar adalah yang menggabungkan antara ‘usaha yang halal’ dan yakin. Sebagaimana, seekor burung yang yakin akan rizki dari Allah dan berusaha dengan usaha yang halal, bukan maksiat.Sehingga, rizki tidak hanya didapatkan dengan kekuatan.

Syaikh Salim Al Hilali hafizhahullah berkata:

“Rizki tidak datang hanya dengan kekuatan, akan tetapi dengan usaha dan juga tawakal (percaya, yakin serta bersandar hanya kepada Allah). Jika tidak demikian (jika rizki hanya karena ‘kekuatan’), tidak mungkin seekor burung diberi rizki bersamaan dengan adanya elang.” [Bahjatun Nazhirin (1/140)]

Artinya, seekor burung, misalnya merpati, dia tetap Allah beri rizki, meskipun pada saat itu ada seekor elang yang lebih kuat darinya, yang sewaktu-waktu bahkan bisa memangsanya.

| Oleh: Fajri NS