Mensyukuri Nikmat Kemerdakaan & Rasa Aman dari Allah

Alhamdulillah atas nikmat Islam dan Sunnah. Salawat dan salam semoga tercurah kepada nabi kita Muhammad, para sahabatnya, dan segenap pengikut setia mereka. Amma ba’du.

Menjadi bangsa yang hidup dalam kemerdekaan adalah nikmat. Sebuah kenikmatan yang sangat besar bagi kita. Sehingga semestinya kita menjadikan kemerdekaan itu sebagai jalan untuk menggapai tujuan hidup kita.

Allah Ta’ala berfirman:

(( وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ ))

“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” [QS. AdzDzariyat: 56]

Ayat ini dengan jelas dan gamblang menjelaskan kepada kita tentang hakikat dan tujuan hidup kita di dunia. Bahwa, hidup kita di dunia ini semestinya dijalani dengan ketundukan kepada Allah dan mengabdi kepada-Nya.

Ibadah, sebagaimana diterangkan oleh para ulama mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah; berupa ucapan dan perbuatan, yang tampak maupun yang tersembunyi. Inilah cakupan makna ibadah. Adapun hakikat daripada ibadah adalah perendahan dan ketundukan sepenuhnya kepada Allah dengan dibarengi puncak kecintaan dan pengagungan dalam bentuk pelaksanaan perintah dan menjauhi larangan-Nya.

Semata-mata merdeka bukanlah nikmat, apabila dengan kemerdekaan itu kita justru mempersekutukan Allah dan berbuat kerusakan di muka bumi. Sebagaimana dikatakan oleh salah seorang ulama salaf yang bernama Abu Hazim rahimahullah.

Beliau mengatakan:

“Setiap nikmat yang tidak mendekatkan diri kepada Allah maka itu adalah malapetaka.”

Kemerdekaan (sebagaimana nikmat-nikmat Allah yang lain, semacam kesehatan dan waktu luang) adalah nikmat yang harus kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak di akhirat. Apakah kita menggunakan nikmat-nikmat ini dalam ketaatan kepada Allah; ataukah justru sebaliknya?

Kemerdekaan bangsa kita dari tangan penjajah merupakan sebuah nikmat dan karunia yang sangat besar. Bukan semata-mata karena kegigihan para pejuang, namun yang paling utama ini adalah pemberian dan anugerah Allah kepada kita. Tanpa pertolongan Allah dan bantuan dari-Nya maka tidak ada kemerdekaan yang bisa kita dapatkan.

Allah-lah yang memberikan nikmat kemerdekaan ini kepada kita. Allah-lah yang membebaskan kita dari belenggu penjajahan. Oleh sebab itu, semestinya kita pun bersyukur kepada Allah dengan melakukan apa-apa yang dicintai Allah dan menjauhi apa-apa yang dibenci oleh-Nya. Bukanlah syukur kepada Allah, apabila kita justru melakukan apa-apa yang dibenci oleh-Nya.

Apalah artinya kemerdekaan ini jika kita justru mengisi hari demi hari dengan maksiat dan kekafiran? Apalah artinya kemerdekaan ini jika semakin hari kita semakin jauh dari ajaran Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya? Apalah artinya kemerdekaan jika hari demi hari kita semakin larut dan tenggelam dalam penyimpangan dari jalan yang lurus?

Allah Ta’ala berfirman:

(( قَالَ اهْبِطَا مِنْهَا جَمِيعًا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَيَشْقَى ))

 “Barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku maka niscaya dia tidak akan sesat dan tidak pula celaka.” [QS. Thaha: 123]

Lantas, bagaimana mensyukuri nikmat kemerdekaan dan keamanan ini?

Para ulama menjelaskan, bahwa hakikat syukur itu adalah:

(1) – Mengakui di dalam hati, bahwa nikmat berasal dari Allah;

(2) – Mengucapkan dengan lisan dengan memuji Allah atas nikmat itu;

(3) – Menggunakan nikmat hanya dalam ketaatan.

Sehingga, hakikat syukur yang sebenarnya adalah dengan melakukan amal salih dan meninggalkan maksiat. Dengan demikian, melakukan maksiat adalah perkara yang merusak syukur dan bertentangan dengan perintah Allah.

[A] – Mensyukuri Dengan Hati

Bersyukur dengan hati adalah dengan mengakui secara tulus, bahwa nikmat kemerdekaan dan kemanan ini adalah datang dari Allah semata. Simple memang, namun ini bentuk syukur yang sangat penting, karena hati adalah penggerak. Ketika hati benar-benar bersyukur dengan mengakui, bahwa kenikmatan adalah dari Allah, maka akan mudah bagi lisan dan anggota badan untuk menunaikan kewajiban bersyukurnya. Sebaliknya, kalau hati mengingkari, akan berat bagi lisan dan anggota badan untuk bersyukur. Kalaupun bersyukur, hanya alakadarnya saja, bahkan bisa terjerumus ke dalam kemunafikan. Bahkan, hati inilah yang menjadi pembeda orang yang benar-benar bersyukur dan orang yang benar-benar ingkar.

Allah berfirman dalam sebuah hadits qudsi (yang artinya):

“Pada pagi hari, hamba-Ku ada yang beriman dan ada yang kufur pada-Ku. Mereka yang mengatakan, ‘Kita diberi hujan, karena rahmat Allah dan karuniaNya.’ Maka, dia beriman pada-Ku dan kufur pada bintang-bintang.

Adapun, mereka (ada pula) yang mengatakan, ‘Kita diberi hujan, karena sebab bintang ini dan itu.’Maka, dia telah kufur kepada-Ku dan beriman pada bintang-bintang.” [HR. Al Bukhari dan Muslim]

[B] – Mensyukuri Dengan Lisan

Bersyukur dengan lisan adalah dengan menyebut-nyebut nikmat tersebut dalam rangka mensyukuri semua yang telah diberikan Allah kepada kita.

Allah berfirman:

(( وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ ))

Dan terhadap nikmat Tuhan-mu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).[QS. Adh Dhuha: 11]

Alhamdulillah, para pendahulu kita pun telah menyadari hal ini, sehingga dalam teks pembukaan UUD 1945 pun tercantum dengan jelas, bahwa kemerdekaan kita adalah “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Sebuah pengakuan yang tegas, yang semoga keluar dari hati yang tulus.

Jangan lupa pula, diantara bentuk rasa syukur kita adalah dengan mendoakan para pahlawan muslim yang telah berjuang untuk kemerdekaan bangsa ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan:

Siapa yang telah berbuat baik kepada kalian, maka balaslah kebaikannya! Jika kalian tak mampu membalasnya, maka doakanlah dia, sehingga doa tersebut mencukupi![HR. Abu Dawud]

Doakan agar Allah memberikan kemudahan dan melapangkan kuburnya, mengampuni kesalahan mereka dan menerima amalan-amalan mereka!

[C] – Mensyukuri Dengan Raga

Mensyukuri dengan raga ini adalah pengejawantahan terbesar, serta bukti dari rasa syukur kita terhadap nikmat kemerdekaan dan keamanan ini. Mensyukuri dengan raga adalah mengisi kemerderkaan ini dengan segala yang Allah perintahkan dan menjauhi segala yang Allah larang. Diantaranya adalah dengan menegakkan Islam pada diri pribadi dan masyarakat kita. Sejenak, marilah kita melihat kondisi negara-negara lain; betapa banyak diantara mereka yang sulit mengumandangkan azan, sulit mencari makanan halal, kaum muslimahnya sulit untuk berpakaian syari, sulit untuk menegakkan shalat berjamaah, bahkan untuk shalat sendiri-pun sulit. Adapun kita, teramat mudah melakukan berbagai macam ibadah-ibadah, baik yang bersifat pribadi maupun berjamaah, masya Allah..

Selain menjalankan ibadah yang sesuai dengan tuntunan Islam, rasa syukur ini pula perlu kita wujudkan dengan dakwah. Mengajak masyarakat kita dari mulai yang paling dekat untuk sama-sama taat, untuk sama-sama beramal kebaikan, untuk sama-sama menegakkan Islam serta menjauhi segala bentuk kesyirikan dan kekufuran, segala bentuk dosa dan maksiat.

Allah Ta’ala berfirman:

( وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّن دَعَآ إِلَى اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِى مِنَ الْمُسْلِمِينَ ))

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.’.” [QS. Fushshilat: 33]

Sebab, kebaikan berupa aqidah yang benar dan amalan yang shalih, tidak cukup dikerjakan sendiri saja, namun harus disebarkan, sehingga seluruh penduduk negeri ini bisa sama-sama mengerjakannya dan barulah Allah bukakan pintu berkah-Nya dari langit dan bumi.

(( وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى ءَامَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَآءِ وَاْلأَرْضِ وَلَكِن كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ ))

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” [QS. Al A’raf: 96]

[D] – Efek Kalau Tak Bersyukur

Apa yang terjadi seandainya nikmat kemerdekaan ini tidak disyukuri? Bencana, musibah yang akan terjadi. Lihatlah, bagaimana Allah berikan kekuasaan kepada Fir’aun! Bukannya bersykur, Fir’aun malah sombong, sampai-sampai mengatakan:

(( فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ اْلأَعْلَى ))

Akulah tuhanmu yang paling tinggi.” [QS. An Nazi’at: 24]

Akhirnya, Allah-pun mengazab Fir’aun.

(( فَأَخَذْنَاهُ وَجُنُودَهُ فَنَبَذْنَاهُمْ فِي الْيَمِّ وَهُوَ مُلِيمٌ ))

Maka, Kami siksa Fir’aun dan tentaranya, lalu Kami tenggelamkan mereka ke dalam laut. [QS. Adz Dzariyat: 40]

Lihat pula kawan sependeritaan Fir’aun, Qarun, nama yang diabadikan dalam Al Qur-an dengan harta dan kekayaan yang melimpah:

(( إِنَّ قَارُونَ كَانَ مِن قَوْمِ مُوسَى فَبَغَى عَلَيْهِمْ وَءَاتَيْنَاهُ مِنَ الْكُنُوزِ مَآإِنَّ مَفَاتِحَهُ لَتَنُوأُ بِالْعُصْبَةِ أُوْلِى الْقُوَّةِ إِذْ قَالَ لَهُ قَوْمُهُ لاَتَفْرَحْ إِنَّ اللهَ لاَيُحِبُّ الْفَرِحِينِ ))

Dan, Kami telah menganugerahkan kepada Qarun perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. [QS. Al Qashash: 76]

Bukannya bersyukur dan mengeluarkan hak harta tersebut untuk membantu orang lain, Qarun malah sombong dan berbangga-bangga seraya mengatakan:

(( قَالَ إِنَّمَآ أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِندِي ))

Qarun berkata, ‘Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.’ [QS. Al Qashash: 78]

Walhasil, Allah-pun menenggelamkan Qarun bersama harta kekayaan yang disombongkannya ke dalam perut bumi:

(( فَخَسَفْنَا بِهِ وَبِدَارِهِ اْلأَرْضَ فَمَا كَانَ لَهُ مِن فِئَةٍ يَنصُرُونَهُ مِن دُونِ اللهِ وَمَاكَانَ مِنَ الْمُنتَصِرِينَ ))

Maka, Kami benamkan Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka, tidak ada baginya suatu golonganpun yang menolongnya dari azab Allah.” [QS. Al Qashash: 81]

[E] – Foya-Foya Bukan Wujud Rasa Syukur

Apabila kita renungkan, ketika mengingat kemerdekaan, seringnya kita melakukan berbagai macam hal-hal yang tidak ada hikmahnya. Justru pemborosan dan buang-buang uang yang seharusnya tidak dilakukan, apalagi di zaman yang serba susah, seperti sekarang ini. Ada lilin dijejer banyak, kemudian dinyalakan apinya, lalu ditiup lagi. Itupun hanya dipakai setaun sekali. Krupuk digantungkan, dimakan sedikit-sedikit sambil berdiri dan tidak habis. Belum lagi pesta pora semalam suntuk dengan menggelar musik yang tidak jarang berujung pada bentrok antara pemuda. Maka, ini semua bukanlah wujud rasa syukur, bahkan bisa menjadikan kita temannya setan:

(( إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينَ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا ))

Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhan-nya.[QS. Al Isra: 27]

Andai saja, uang tersebut digunakan untuk membantu janda-janda dan veteran-veteran pejuang Islam yang tak jarang nasibnya sangat memprihatinkan, membantu fakir miskin yang masih sangat banyak bertebaran di sekitar kita, memberikan beasiswa kepada cucu-cucu para pejuang agar bisa mendapatkan fasilitas belajar yang layak, tentunya jauh lebih baik.

Kita memohon kepada Allah agar memberi kita petunjuk untuk senantiasa bersyukur kepada-Nya dengan hati kita, lisan kita, dan anggota tubuh kita. Kita pun memohon agar Dia senantiasa memberikan nikmat-Nya pada kita dan jangan menjadikan musibah yang turun sebagai azab bagi kita. Aamien, yaa mujiibas saa–ilien.

| Artikel Buletin At Tauhid

| Oleh: Ustadz Amrullah Akadhinta, S.T.

| Pimpinan Yayasan Pendidikan Islam Al Atsari ; Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta