Pengetahuan Dasar Jual Beli Kredit

Jual beli kredit termasuk transaksi yang banyak dilakukan kaum muslimin. Karena dengan transaksi seperti ini kita bisa mendapatkan barang yang kita butuhkan meskipun uang kita belum cukup untuk membelinya. Karena, kita bisa membelinya dengan cara diangsur.

Akan tetapi, dengan melihat pendapat para ulama tentang hukum jual beli kredit, kita dapati mereka berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan dan ada yang membolehkannya.

Maka hukum jual beli kredit ini termasuk masalah yang penting untuk kita ketahui. Karena masalah ini cukup rumit, maka perlu kita susun secara sistematis pembahasan ini ke dalam beberapa pembahasan:

Pertama: Syarat-syarat sah jual beli.

Ke dua: Makna dan gambaran jual beli kredit.

Ke tiga: Pendapat mayoritas ulama dan dalilnya

Ke empat: Pendapat yang mengharamkan jual beli kredit dan jawabannya

Ke lima: Syarat-syarat Jual Beli Kredit

 

Syarat-syarat Sah Jual Beli

Sebagaimana ibadah yang ada syarat-syarat sah-nya, demikian juga ‘jual-beli’. Meskipun bukan ibadah, aktivitas jual beli ada syarat-syarat sah yang harus dipahami dan dipenuhi sebelum melakukan transaksi.

  1. Kerelaan dari dua pihak yang melakukan transaksi.

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا ﴿۲٩﴾

Maksudnya adalah kerelaan dari dua pihak yang bertransaksi, dalam melakukan ‘transaksi halal’. Adapun transaksi haram, meskipun dua pihak sama-sama rela melakukannya, maka transaksinya tidak sah. Karena, kerelaan hati tidak bisa merubah sesuatu yang haram menjadi halal.

  1. Transaksi jual beli yang dilakukan tidak untuk sesuatu yang haram.

Jika jual beli yang dilakukan terjadi pada sesuatu yang haram maka tidak boleh dilakukan, meskipun dua pihak rela. Sesuatu haram yang dimaksud ada dua:

Pertama, urusan itu haram secara dzatnya. Misalnya, jual beli sesuatu yang memabukkan. Bisa berupa benda cair, seperti ‘minuman keras’. Atau berupa benda padat, misalnya ‘narkoba’.

Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ وَ رَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الخَمْرِ، وَ المَيْتَةِ وَ الخِنْزِيرِ وَ الأَصْنَامِ

Sesungguhnya Allah dan Rasul Nya mengharamkan: jual beli minuman memabukkan, bangkai, babi dan berhala-berhala.” (HR. Bukhari)

Kedua, jual beli tersebut menyebabkan ‘permusuhan’. Maka, transaksi yang menyebabkan permusuhan sesama muslim, meskipun halal, tetap tidak boleh dilakukan.

Misalnya, suatu hari kita melewati toko, di situ ada seorang muslim yang sedang tawar-menawar harga dengan penjual. Lalu tiba-tiba kita datang ke toko itu dan mengatakan kepada penjual: “Berikan barang itu kepada saya, saya akan membelinya dengan harga yang jauh lebih tinggi dari orang ini.” Dan akhirnya penjual menyerahkan barang itu kepadanya. Padahal teman kita tadi belum selesai melakukan tawar menawar, sehingga dia sangat kecewa dengan kita dan akhirnya dendam dan membenci kita.

  1. Transaksi yang dilakukan tidak ada unsur ‘ghoror’, yaitu sesuatu yang tidak jelas dan mengandung unsur ‘pertaruhan besar’.

Kecuali, jika ‘ketidakjelasan’ ini sangat kecil, maka tidak apa-apa. Misalnya, ketika kita membeli makanan dalam kemasan dalam jumlah banyak. Biasanya, ada beberapa bungkus yang isinya sangat sedikit, atau mungkin tidak ada isinya. Maka, jual beli yang kita lakukan ini hukumnya boleh, karena meskipun ada ‘ghoror’ nya, akan tetapi ghorornya sedikit.

  1. Tidak ada unsur ‘riba’ di dalam transaksi.
  2. Orang yang melakukan transaksi adalah pemilik barang. Atau, dia diizinkan pemilik barang untuk menjualnya. Atau dia termasuk orang yang memiliki wewenang melakukan transaksi terhadap harta tersebut. Maksudnya, dia adalah orang yang telah ‘baligh’ (dewasa), ‘Aqil (berakal) dan ‘Rasyid’ (bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk). (Minhajus Salikin, syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy, dengan ringkas dan sedikit tambahan)

 

Arti dan gambaran jual beli kredit

Jual beli kredit adalah: transaksi jual beli, di mana barang diterima pada waktu transaksi dengan pembayaran tidak tunai dengan harga yang lebih mahal dari pada harga tunai, serta pembeli melunasi kewajibannya dengan cara angsuran tertentu, dalam jangka waktu tertentu. (Buku ‘Harta Haram Muamalat Kontemporer’, Dr. Erwandi Tarmidzi, halaman 315)

Gambarannya adalah penjual mengatakan kepada pembeli: “Saya jual barang ini dengan harga 1 juta. Dan jika Anda menghendaki membelinya dengan cara diangsur, silakan. Dengan ketentuan, diangsur selama satu tahun, setiap bulan 100 ribu.”

Jika kita perhatikan, antara ‘harga kontan’ dengan ‘harga kredit’ tidak sama. Karena harga kontan 1 juta, sedangkan harga kredit 1 juta dua ratus ribu. Sehingga ada selisih 200 ribu. Inilah gambaran sederhana jual beli kredit. Dan para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya.

 

Pendapat Mayoritas Ulama

Menurut ‘jumhur ulama’ (mayoritas ulama) jual beli kredit seperti ini hukumnya boleh. Di antara dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:

Rasulullah pernah membeli bahan makanan dari seorang Yahudi dengan cara tidak tunai dan memberikan baju besinya sebagai jaminan.” (HR. Bukhari)

Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini adalah:

Bila seseorang sangat membutuhkan suatu barang, dan diperkirakan dia mampu melunasinya, dibolehkan baginya membeli barang dengan cara kredit, sekalipun harganya lebih mahal daripada harga tunai. Bila persyaratan yang lainnya terpenuhi. (Buku ‘Harta Haram Muamalat Kontemporer’, halaman 316)

Selain itu beberapa ulama salaf membenarkan bentuk transaksi kredit seperti ini. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:

Tidak apa-apa, seorang (penjual) berkata: ‘Barang ini (dijual) dengan kontan ‘sekian’, dan dengan ‘kredit’ ‘sekian’. Akan tetapi penjual dan pembeli tidak berpisah, kecuali setelah ridho dengan salah satu harga.” (‘Al-Qadhaya Al-Fiqhiyyah Al-Mu’ashirah Wal Iqtishad Al-Islamy, halaman 382 )

 

Pendapat Ulama Yang Mengharamkan Kredit

Sedangkan para ulama yang mengharamkan kredit, mereka beralasan dengan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

 

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ

“Rasulullah melarang ‘dua transaksi jual beli’ yang ada di dalam ‘satu transaksi’ jual beli.” (HR. Tirmidzi, no. 1231)

Mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘dua transaksi’ di dalam ‘satu transaksi’ adalah jual beli kredit. Karena, dalam jual beli kredit, ada dua transaksi jual beli, yaitu: dua harga. Harga dengan kontan dan harga dengan kredit.

 

Sanggahan Untuk Pendapat Ini:

Para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ‘dua transaksi jual beli dalam satu transaksi jual beli’ adalah:

Si A menjual barang kepada si B dengan diangsur, lalu di saat yang sama, si A membeli lagi barang yang dia jual tadi dengan membayar kontan kepada si B. Sehingga, si B mendapatkan uang cash, dan mempunyai hutang kepada si A. Sedangkan barang yang dijual tadi kembai ke tangan si A.

Transaksi seperti ini disebut dengan jual beli ‘inah’. Sebetulnya hutang piutang dengan ‘bunga’, akan tetapi ditutupi dengan transaksi jual beli kredit yang dibuat-buat.

 

Syarat-syarat Sah Jual Beli Kredit

Para ulama yang berpendapat bolehnya jual beli kredit, mereka menetapkan beberapa syarat untuk sahnya kredit. Yaitu:

  1. Barang yang dijual sudah menjadi milik penjual sebelum transaksi kredit.

Seorang penjual yang belum memiliki barang, boleh menjualnya dengan kredit, jika gambarannya seperti di bawah ini:

Misalnya penjual adalah ‘lembaga keuangan’. Lalu calon pembeli memesan sebuah ‘mobil’ dengan jelas merk dan sifatnya kepada penjual ini. Karena dia belum memiliki barangnya maka dia ‘berjanji’ akan mengadakan barang pesanannya. Karena masih sebatas ‘janji’ maka bila salah satu pihak membatalkan janjinya maka tidak dikenai sangsi materil apapun. Lalu dia pergi ke dealer mobil untuk membeli mobil pesanannya tadi dengan ‘khiyar syarat’, misalnya: dia berhak mengembalikan mobil ke dealer selama batas waktu tiga hari. Kemudian, setelah mobil ada, dia menjualnya secara kredit kepada orang yang memesan tadi dengan cara kredit, tidak ada ‘denda’ karena terlambat membayar cicilan. Akan tetapi pembeli harus menyerahkan barang jaminan. Jika sewaktu-waktu terlambat membayar cicilan, barang jaminannya bisa dipakai untuk melunasi kekurangannya. (Buku ‘Harta Haram Muamalat Kontemporer’, Dr. Erwandi Tirmidzi, halaman 321-322)

  1. Ada kejelasan dalam: harganya, besar angsurannya, dan masa angsurannya.
  2. Tidak ada ‘denda’ karena keterlambatan dalam mengangsur.

Karena, jika ada denda seperti ini, sama saja hutang piutang yang disertai ‘bunga’, dan ini adalah riba yang diharamkan Islam. Adapun solusi untuk ‘kredit macet’, maka bisa menggunakan solusi selain ‘denda’ keterlambatan cicilan. Misalnya bisa menggunakan barang jaminan atau semisalnya.

  1. Jual beli kredit ini tidak digunakan untuk ‘menutupi’ transaksi riba. Misalnya adalah Si A menjual barang kepada si B dengan diangsur, lalu di saat yang sama, si A membeli lagi barang yang dia jual tadi dengan membayar kontan kepada si B. Sehingga, si B mendapatkan uang cash, dan mempunyai hutang kepada si A. Sedangkan barang yang dijual tadi kembai ke tangan si A. Ini sebenarnya hutang piutang dengan ‘bunga’, yang ditutupi dengan transaksi kredit yang ‘dibuat-buat’.
  2. Barang yang dijual secara kredit bukan emas, atau perak atau mata uang. Karena mata uang disamakan hukumnya dengan emas dan perak.

Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam mengatakan dalam sebuah hadits riwayat Muslim, bahwa jika emas ditukar dengan emas maka harus sama ukurannya dan harus kontan. Adapun jika emas ditukar dengan perak maka harus kontan saja. Itu artinya, jika kita membeli emas dengan uang rupiah, maka harus kontan. Wallahu a’lam

Fajri NS