Pada edisi sebelumnya kita telah membahas hakekat najis maknawi dan cara mensucikannya. Maka pada edisi kali ini kita akan bersama sedikit menyelami permasalahan najis hissi (terindra). Selamat menuntut ilmu.
KAEDAH PENTING
Dalam kamus Islam asal dari segala sesuatu adalah mubah dan suci. Tidak boleh kita memvonis sebuah benda itu nasjis kecuali dengan dalil. Dalam kaedah fiqhiyah dinyatakan
“Bahawa asal dari segala sesuatu adalah suci, (tidak dihukumi najis) sampai datang dalil yang menyatakan bahwa hal itu najis.” [Shohih Fiqh As Sunnah 1/78]
Berkaitan dengan kaedah di atas, dalam kitab al Wajiz fi Fiqh As Sunnah wa al Kitab al ‘Aziz diterangkan:
“Asal muasal dari segala sesuatu adalah mubah lagi suci. Maka barang siapa mengklaim kenajisan suatu benda wajib baginya membawakan dalil.” [Al Wajiz hal. 30]
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa sebuah benda atau sesuatu apapun itu, tidak dapat dikatakan najis kecuali bila ada dalilnya. Jadi patokan dalam menajiskan sesuatu adalah dalil bukan akal atau perasaan. Allah berfirman :
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra: 36)
NAJIS-NAJIS BERDASARKAN DALIL
Dalil kenajisan kotoran manusia adalah sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– :
“Jika alas kaki salah seorang di antara kalian menginjak kotoran (manusia -pen), maka tanah adalah media untuk mensucikannya.” [HR. Abu Dawud, no.385]
Dalam sebuah hadits diceritakan :
“(Suatu ketika) seorang Arab Badui kencing di masjid. Lalu sebagian orang (yakni sahabat) berdiriingin menghardiknya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Biarkan dan jangan hentikan (kencingnya)”. Setelah orang badui tersebut menyelesaikan hajatnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas meminta satu ember air lalu menyiram kencing tersebut.”[HR. Muslim, no.284]
Madzi adalah : Cairan yang keluar dari kemaluan berwarna putih agak encer, lengket, keluar ketika syahwat. Dalil kenajisannya adalah hadits Ali bin Abi Tholib ketika beliau berkata :
“Aku termasuk orang yang sering keluar madzi. Namun aku malu menanyakan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dikarenakan kedudukan anaknya (Fatimah) di sisiku. Lalu aku pun memerintahkan Al Miqdad bin Al Aswad untuk bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau memberikan jawaban pada Al Miqdad, “Perintahkan dia untuk mencuci kemaluannya kemudian suruh dia berwudhu”.” [HR. Muslim, no.303]
Sedangkan Wadi adalah : Cairan pekat berwarna putih biasanya keluar setelah seseorang kencing.Berkaitan dengan kenajisannya Ibnu Abbas menerangkan :
“Mengenai mani, madzi dan wadi; adapun mani, maka diharuskan untuk mandi. Sedangkan wadi dan madzi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Cucilah kemaluanmu, lantas berwudhulah sebagaimana wudhumu untuk shalat.” [Sunan Kubro Al Baihaqi 1/169]
Lalu bagaimana dengan Mani ? apakah ia najis ?
Pendapat yang benar bahwa mani tidaklah najis. Hal ini berdasarkan riwayat salah satunya persaksian ‘Aisyah yang menyatakan,
“Sungguh aku sendiri pernah mengerik mani dari pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau shalat dengan pakaian tersebut.” [HR. Muslim, no.288]
Taqiyuddin Abu Bakr Ad Dimaysqi rahimahullah mengatakan,
“Seandainya mani itu najis, maka tidak cukup hanya dikerik (dengan kuku) sebagaimana darah (haidh) dan lainnya. Adapun riwayat yang menyatakan bahwa mani tersebut dibersihkan dengan dicuci, dibawa kepada pemahaman sebagai anjuran dan pilihan dalam mensucikan mani tersebut.” [Kifayatul Akhyar 1/66 –syamilah-]
Dan hikmah dari syareat juga menolak kenajisan mani, bagaimana mungkin manusia makhluk yang mulia tercipta dari air yang najis, padahal Allah berfirman,
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tiin: 4)
Oleh karena itu Imam Nawawi berkata :
“Mani anak adam adalah suci menurut kami (Syafi’iyah), inilah pendapat yang benar yang menjadipernyataan Imam Syafi’i pada kitab-kitab beliau.” [al majmu’ 2/553 –syamilah-]
Abdullah bin Mas’ud pernah bercerita :
“Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin bersuci setelah buang hajat. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Carikanlah tiga buah batu untukku.” Aku pun melaksanakan perintah Beliau, namun aku hanya mendapatkan dua batu dan sebuah kotoran keledai (yang telah kering). Lalu Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil dua batu dan membuang kotoran tadi. Kemudian Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kotoran ini termasuk Rijz (najis)”.” [Shohih ibnu khuzaimah 1/39]
Adapun kotoran hewan yang dagingnya halal dikonsumsi (onta, sapi, rusa, ayam dll) hukumnya tidak najis. Bahkan terdapat riwayat dari Anas, ketika segerombolan orang datang dari ‘Ukel atau dari ‘Uraynah, disebutkan dalam hadits,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh mereka untuk meminum kencing dan susu dari unta perah.” [HR. Bukhari no. 233]
Seandainya najis maka nabi tidak akan memerintahkan untuk minum air kencing onta tersebut.
Dalil yang menunjukkan kenajisan darah haid adalah hadits Asma’ binti Abi Bakr, beliau berkata,
“Seorang wanita pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata,
“Di antara kami ada yang bajunya terkena darah haidh. Apa yang harus kami perbuat?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
“Gosok dan keriklah pakaian tersebut dengan air, lalu percikilah. Kemudian shalatlah dengannya.”[HR. Muslim, no.291]
Syeikh Shidiq Hasan Khon berkata :
“Perintah untuk mencuci dan mengerik pakaian yang terkena darah haid di atas menunjukkan kenajisan darah haid tersebut.” [Ar Roudoh An Nadiah 1/18 –syamilah-]
Adapun darah manusia secara umum – selain darah haid – pendapat yang benar bahwa darah manusia yang keluar dari tubuh tidaklah najis hal ini berdasarkan riwayat yang menerangkan bahwa Umar bin Khottob ketika ditikam oleh abu lu’lu’ah sehingga lukanya memancarkan darah mengerjakan sholat. Al Miswar bin Mahromah becerita:
“Ketika itu Umar Sholat sedangkan lukanya memancarkan darah.” [al Muwatok 1/122]
“Sucinya bejana salah seorang dari kalian apabila dijilat anjing adalah dicuci sebanyak tujuh kali cucian pertama menggunakan tanah.” [HR. Muslim, no.279]
Babi termasuk hewan yang najis dengan dalil firman Allah ta’ala :
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -seungguhnya semua itu rijz– atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al An’am: 145).
Syeikh Abdurrahman As Sa’di berkata : yang dimaksud dengan Ar Rijz adalah
“Kotor, Najis lagi membahayakan” [Tafsir As Sa’di]
Bangkai adalah semua makhluk bernyawa yang mati bukan karena sembelihan syar’i. Dalil kenajisannya adalah Sabda Nabi :
“Apabila kulit bangkai tersebut disamak, maka dia telah suci.” [HR. Muslim, no.366]
Namun ada beberapa bangkai yang dikecualikan, walaupun bangkai namun tetap dihukumi suci/tidak najis karena ada dalil yang mengkhususkannya:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Dihalalkan untuk kalian dua bangkai dan darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati dan limpa.” [Shohih Ibnu Majah, no.2695]
Misalnya bangkai lalat, semut, lebah, nyamuk dll. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
“Apabila seekor lalat jatuh di salah satu bejana di antara kalian, maka celupkanlah lalat tersebut seluruhnya, kemudian buanglah. Sebab di salah satu sayap lalat ini terdapat racun (penyakit) dan sayap lainnya terdapat penawarnya.” [HR. Bukhari, no.5782]
Semua ini suci karena kita kembalikan kepada hukum asal segala sesuatu adalah suci. Imam Bukhari berkata,
“Hammad mengatakan bahwa bulu bangkai tidaklah mengapa (yaitu tidak najis). Az Zuhri mengatakan tentang tulang bangkai seperti tulang gajah dan selainnya, ‘Aku menemukan beberapa ulama salaf menyisir rambut dan berminyak dengan menggunakan tulang tersebut. Mereka tidaklah menganggapnya sesuatu yang najis’.” [Shohih Bukhori 1/56]
Demikian bahasan singkat berkaitan dengan benda-benda najis di sekitar kita. Semoga kita senantiasa mendapatkan petunjuk dan hidayah dari Allah. Aamiin
Allahu a’lam bisshowwab
Ibnu ram 130918
Download PDF
[sdm_download id=”911″ fancy=”0″]