Tafsir Al-Maidah Ayat Pertama Dan Seorang Ahli Filsafat

Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ ۚ أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ ۗ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ [٥:١]

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.” [Al-Maidah: 1]

 

Imam Syaukani rahimahullah, di dalam kitab tafsirnya yang bernama ‘Fathul Qadir’, menyantumkan kisah yang sangat menarik tentang seorang filsafat Arab terkenal, namanya Ya’qub bin Ishaq, atau lebih dikenal dengan Al-Kindi.

 

Suatu ketika, murid-murid Al-Kindi meminta kepadanya supaya menulis sebuah kitab seperti Al-Qur’an. Dan dengan penuh keyakinan, Al-Kindi memenuhi permintaan murid-muridnya itu. Dia mengatakan akan mencoba membuat sebagian saja yang seperti Al-Qur’an.

 

Kemudian Al-Kindi pulang ke rumahnya, dan berhari-hari mengurung diri. Sampai akhirnya, Al-Kindi keluar menemui murid-muridnya, dan berkata kepada mereka:

 

“Demi Allah! Aku tidak sanggup. Dan tidak ada seorang pun yang bisa melakukannya! Aku buka Al-Qur’an, maka muncul surat Al-Maidah, lalu aku cermati (ayat yang pertama), ternyata (ayat yang pertama) berbicara tentang ‘menepati janji’ dan melarang‘melanggar janji’, lalu menghalalkan dengan penghalalan secara umum, lalu mengecualikan beberapa hal yang halal tersebut, yang sebelumnya ada pengecualian. Kemudian, Allah memberitahu tentang kekuasaannya dan hikmahnya, semua ini hanya dalam dua baris! Tidak ada seorang pun yang bisa mendatangkan hal ini!” [Kitab ‘Fathul Qadir’, jilid 1 halaman 5, cetakan pertama, Riyadh]

 

Maha benar Allah, tidak ada siapapun yang sanggup membuat kitab seperti Al-Qur’an. Ini adalah bukti kebenaran firman Allah:

Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” [Al-Baqarah: 23]

 

Seandainya tidak ada bukti nyata, cukup dengan ayat ini kita yakin, bahwa tidak ada yang sanggup membuat kitab yang seperti Al-Qur’an, sebagian saja tidak! Bagaimana jika dikuatkan dengan bukti nyata, seperti kisah di atas? Tentu semakin kuat iman kita kepada Al-Qur’an, alhamdulillah.

 

Yang membuat Al-Kindi kagum terhadap Al-Qur’an dan akhirnya menyerah adalah satu ayat saja mengandung makna yang sangat luas dan mencakup banyak hal. Dan semua ini hanya disebutkan dalam dua baris, menurut mushaf Al-Qur’an yang dia miliki.

 

Padahal, Al-Kindi adalah ahli bahasa, ahli filsafat, memiliki kecerdasan yang tinggi, meskipun demikian, dia menyerah di hadapan satu ayat saja.

 

Kemudian, apa saja kandungan ayat yang pertama dari surat Al-Maidah ini, yang membuat Al-Kindi takjub dan mengakui keagungan Al-Qur’an?

 

Kandungan pertama: perintah untuk menepati janji dan larangan melanggar janji.

Di awal ayat, sebelum menjelaskan hukum-hukum, Allah membukanya dengan panggilan ‘Wahai orang-orang yang beriman’. Ibnu Mas’ud mengatakan, jika di dalam ayat Al-Qur’an disebutkan kalimat ‘Hai orang-orang beriman’, maka kita harus memperhatikan dengan seksama, karena pasti setelah kalimat itu, ada suatu kebaikan yang diperintahkan atau suatu kejelekan yang dilarang.

 

Beberapa ulama menambahkan, ketika disebutkan kalimat ‘Wahai orang-orang yang beriman’, ini menunjukkan bahwa pelaksanaan perintah atau meninggalkan larangan yang disebutkan setelahnya, merupakan konsekwensi dari iman kita kepada Allah.

 

Maka, kandungan pertama dalam ayat ini adalah perintah untuk menepati janji dan larangan melanggar janji. Janji yang harus ditepati ada beberapa:

Pertama, janji antara kita dengan Allah, yaitu : perjanjian yang berkaitan dengan ‘halal-haram’, kita berjanji kepada Allah untuk meninggalkan yang haram dan hanya memilih yang halal, ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas.

Ke dua, janji antara kita dengan orang lain. Termasuk di dalamnya janji atau ikatan pernikahan.

Ke tiga, janji antara kita dengan diri kita sendiri, seperti : sumpah dan nadzar. Dua pendapat ini adalah pendapatnya Ibnu Zaid. [Kitab ‘Zadul Masir’, karya Imam Ibnul Jauzi, halaman 350]

 

Perjanjian antara kita dengan orang lain yang harus ditepati, syaratnya tidak melanggar Al-Qur’an atau hadits. Imam Syaukani rahimahullah berkata:

“Perjanjian yang wajib dipenuhi adalah yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits, jika perjanjian itu melanggar Al-Qur’an dan Hadits, maka perjanjian itu ditolak, tidak wajib dipenuhi dan tidak halal.” [Kitab ‘Fathul Qadir’, halaman 389]

 

Kandungan ke dua ayat ini yaitu : masalah yang berkaitan dengan binatang halal dan yang haram.

 

Di ayat ini Allah berfirman:

 

“…Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu…” [Al-Maidah: 1]

 

Di ayat ini Allah menghalalkan binatang ternak secara umum. Menurut Imam Qatadah, yang dimaksud ‘binatang ternak’ adalah onta, sapi dan kambing. Menurut ulama yang lain, lebih umum dari ketiga binatang tersebut, sehingga mencakup semua binatang buruan. [ Kitab Zadul Masir dan Taisirul Karimir Rahman]

 

Dari beberapa jenis ‘binatang ternak’ ini, ada yang dikecualikan, maksudnya adalah beberapa ada yang diharamkan.

 

Apa saja binatang yang diharamkan? Hal ini Allah jelaskan dalam firman Nya: “…kecuali yang akan dibacakan kepadamu….”

 

Maksudnya, binatang-binatang haram tersebut akan disebutkan di Al-Qur’an dan di Hadits. Binatang haram yang disebutkan di Al-Qur’an adalah yang Allah sebutkan di ayat setelahnya:

 

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya….” [Al-Maidah: 3]

 

Jika ada binatang halal, tercekik atau terpukul atau jatuh atau ditanduk binatang lain atau diterkam binatang buas, dan masih hidup, lalu kita sempat menyembelihnya, maka binatang tersebut halal.

 

Sedangkan, binatang buruan yang haram, yang disebutkan di dalam hadits misalnya: semua binatang buas yang mempunyai taring. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Bukhari. Di dalam hadits riwayat Muslim, ada tambahan penjelasan bahwa Nabi melarang memakan burung yang mempunyai kuku tajam.

 

Binatang-binatang yang halal tersebut, dikecualikan lagi, yaitu: tidak boleh diburu ketika kita ihram, baik ihram haji maupun ihram umrah.

 

Hal ini berdasarkan firman Allah selanjutnya: “…(Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.”

 

Maksudnya, semua binatang buruan yang halal, boleh kita berburu dan memakannya, kapan saja kita mau. Kecuali, ketika kita sedang ihram, maka kita tidak boleh berburu binatang-binatang buruan yang halal tadi. Ini adalah salah satu tafsir ayat tersebut. [ Kitab tafsir ‘Taisirul Karimir Rahman’ ]

 

Dan yang dimaksud dengan ihram yaitu mencakup ihram haji maupun umrah, sebagaimana dikatakan Imam Syaukani di dalam kitab ‘Fathul Qadir’.

 

Inilah yang dimaksud Al-Kindi, ‘pengecualian setelah pengecualian’, dan inilah yang membuatnya kagum terhadap Al-Quran.

 

Kandungan ke tiga yaitu : penjelasan kuasa Allah dan hikmah Nya.

 

Hal ini terdapat di dalam firman Allah di akhir ayat pertama dari surat Al-Maidah: “…Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”

 

Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi, tidak ada yang bisa menghalanginya. Kehendak Nya di atas kehendak manusia. Ketika Allah menghendaki untuk menetapkan hukum tertentu, maka tidak ada yang bisa menghalanginya. Dan hukum yang Allah tetapkan ini bukan sembarang hukum, akan tetapi hukum yang berdasarkan hikmah dan kebaikan serta menghilangkan atau memperkecil segala bentuk kejelekan. Allah menghalalkan yang baik-baik, untuk kesenangan dan kebahagiaan kita. Allah mengharamkan yang jelek-jelek, meskipun banyak yang menyukainya, juga untuk kebaikan kita, bukan karena Allah ingin menzhalimi kita.

 

Inilah yang dipahami Al-Kindi, seorang ahli filsafat Arab yang juga ahli dalam bahasa Arab. Dari sini kita juga dapat mengambil pelajaran, begitu besarnya peran bahasa Arab dalam memahami Al-Qur’an. Yang dengan memahaminya, seorang ahli filsafat sekaliber Al-Kindi kagum, menyerah dan menyatakan bahwa tidak mungkin ada yang bisa membuat sepeti Al-Qur’an.

 

Begitulah, kemukjizatan Al-Qur’an tidak akan ada habisnya, dan kekuatannya sangat besar, karena Al-Qur’an adalah kalam Allah yang maha kuasa serta maha perkasa. Dan lagi-lagi ini juga terbukti. Para sahabat Nabi, dengan jumlah sedikit, berhasil mengalahkan musuh yang jumlahnya tiga kali lipat. Tidak lain karena beriman kepada Al-Qur’an. Begitu juga, tidak jauh dari kita dan belum lama kita menyaksikan, bagaimana jutaan umat Islam ‘bergerak’, satu tujuan, satu tekad, dengan tenang, tanpa ada kekacauan, tidak takut akan ancaman maupun celaan, karena satu ayat. Bersyukurlah kaum muslimin, akan nikmat Al-Qur’an yang agung. Mari, kita jadikan hari-hari kita bersama Al-Qur’an, kita baca setiap hari meskipun sedikit, kemudian kita mempelajari kandungan Al-Qur’an dari ahlinya, yang pada akhirnya, kita jadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup.

 

Oleh : Fajri NS