Saudaraku para pembaca yang budiman, sesungguhnya kita semua tengah menyambut tamu yang agung, tamu yang mulia, yang tidak datang kepada kita, kecuali satu kali saja dalam setahun. Tamu tersebut adalah Bulan Ramadhan. Bulan kebaikan, keberkahan, yang Allah lebihkan dari bulan-bulan yang lain, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Qur–an dan bulan yang di dalamnya terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Maka, hendaknya bagi setiap muslim untuk berlomba-lomba memperbanyak amal shalih demi mendapat keutamaan bulan tersebut dan menjauhi kemaksiatan-kemaksiatan, sehingga tidak termasuk orang yang merugi. Oleh karenanya, pada edisi kali ini –dengan izin dari Allah– Penulis akan sedikit membahas tentang: Fikih Ramadhan.
Amalan-amalan Shalih di Bulan Ramadhan
Puasa adalah menahan diri dari makan, minum, berhubungan dengan istri dan termasuk juga menahan diri dari ucapan kotor, perbuatan dzalim dan sebagainya, sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. [Syarhul Umdah libni Taimiyah, 1/23-24]
Puasa wajib bagi seorang muslim, baligh, berakal dan tidak ada penghalang baginya untuk berpuasa, seperti sakit, berpergian, atau yang selainnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” [QS. Al Baqarah: 183]
Terdapat dua jihad yang dilakukan oleh seorang mukmin ketika Ramadhan: Jihad di siang hari dengan berpuasa; dan Jihad di malam hari dengan Shalat Tarawih.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa melakukan shalat malam pada bulan Ramadhan karena keimanan dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.” [HR. Al Bukhari: 58, Muslim, no. 759]
Dan hendaknya mengerjakan Shalat Tarawih bersama imam sampai selesai, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa berdiri (mengerjakan Shalat Tarawih) bersama imam sampai selesai, dituliskan baginya shalat sepanjang malam.” [HR. At Tirmidzi (3/520), dishahihkan oleh Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil, no. 447]
Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al Qur-an, maka sudah semestinya kita memuliakannya dengan banyak membaca Al Qur-an, merenungi dan mempelajari maknanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa membaca Al Qur-an kepada Malaikat Jibril pada bulan tersebut. [Lihat. HR. Al Bukhari (1/30), Muslim, no. 3308]
Bulan Ramadhan adalah bulan kasih sayang dan kedermawanan, karena pahalanya dilipat gandakan. Marilah kita contoh nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau adalah orang yang paling dermawan dan lebih dermawan lagi pada Bulan Ramadhan. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang yang sangat pemurah, terlebih lagi ketika Ramadhan.” [HR. Al Bukhari no. 6, Muslim no. 2308]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Umrah di Bulan Ramadhan menyamai (pahala) haji bersamaku.”
Sama saja, baik di awal, di tengah, atau di akhir bulan. Tidak ada pengkhususan, bahwa yang lebih utama adalah pada sepuluh hari terakhir Bulan Ramadhan.
I’tikaf adalah berdiam diri di masjid untuk mendekatkan diri kepada Allah. [Al Inshaf fie Ahkaamil I’tikaf, Ali bin Hasan Al Halabi, hal. 5]
I’tikaf pada sepuluh hari terakhir Bulan Ramadhan hukumnya sunnah muakkadah (sangat dianjurkan) [Lihat, QS. Al Baqarah: 187!] Sebagaimana hal ini juga telah dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ibnul Qayyim berkata, “Allah mensyari’atkan i’tikaf, maksud dan intinya adalah agar hati lebih tenang dan menghadap kepada Allah, memusatkan hati, mendekatkan diri kepada-Nya dan menghilangkan kesibukan dengan manusia, hanya sibuk dengan Allah saja.” [Zaadul Ma’aad, 2/82]
Diantara maksud dari i’tikaf adalah mencari Malam Lailatul Qadar, suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Yang mana kita telah diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallamuntuk mencarinya. [Lihat, HR. Al Bukhari, no. 2020]
Kesalahan-kesalahan Pada bulan Ramadhan
Bulan Ramadhan adalah bulan yang mulia. Namun sangat disayangkan, ada sebagian ibadah yang tercampuri oleh beberapa ritual yang tidak ada dasarnya dalam agama. Diantaranya yang banyak tersebar di negeri kita adalah:
Tidak diragukan lagi, bahwa niat merupakan salah satu syarat sahnya ibadah, termasuk puasa. Hanya, perlu diketahui, bahwa niat tempatnya di dalam hati. Barangsiapa yang terlintas dalam hatinya, bahwa dia besok akan berpuasa, berarti dia telah berniat. Maka tidak perlu melafadzkan niat puasa di malam hari dengan mengucapkan:
“Aku berniat puasa besok untuk melaksanakan kewajiban fardhu Puasa Ramadhan pada tahun ini karena Allah Ta’ala.”
Bacaan niat tersebut sangat masyhur, bahkan diucapkan secara berjama’ah di masjid setelah Shalat Tarawih, padahal tidak ada asalnya sama sekali dalam kitab hadits. [Lihat, Shifat Shaum Nabi, Syaikh Salim Al-Hilali dan Syaikh Ali Hasan, hal. 30]
Menetapkan waktu imsak untuk membatasi makan sahur dan mengumumkannya melalui pengeras suara merupakan perkara yang menyelisihi Sunnah. Padahal, syari’at memberi batasan bagi seseorang untuk makan sahur sampai Adzan Shubuh. Bahkan, syari’at menganjurkan untuk mengakhirkan sahur, sedangkan penetapan imsak, berarti memalingkan manusia dari menghidupkan Sunnah.
Kami memahami, bahwa maksud para pencetus imsak adalah sebagai bentuk kehati-hatian, agar jangan sampai kita ketika masuk waktu Shubuh orang-orang masih makan, atau minum. Akan tetapi, ini adalah perkara ibadah, sehingga harus berdasarkan dalil yang shahih. Dan tidak terdapat dalil yang shahih yang melandasi hal ini. [Fathul Bari (4/109) dan Fatawa Ibnu Utsaimin, hal. 670]
Pada tanggal 17 Ramadhan biasanya sebagian kaum muslimin mengadakan peringatan yang disebut dengan Perayaan Nuzulul Qur-an sebagai bentuk pengagungan kepada Kitab Suci Al Qur-an. Namun, ritual tersebut perlu disorot dari dua segi:
Pertama, Dari segi sejarah.
Adakah bukti autentik, baik berupa dalil, atau sejarah, bahwa Al Qur-an diturunkan pada tanggal tersebut?
Kedua, Anggaplah memang terbukti, bahwa Al Qur-an diturunkan pada tanggal tersebut, namun menjadikannya sebagai perayaan butuh dalil dan contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Bukankah orang yang paling gembira dengan turunnya Al Qur-an adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya radhiyallahu ‘anhum?! Namun demikian, tidak pernah dinukil dari mereka tentang adanya perayaan semacam ini, maka ini menunjukkan, bahwa perayaan tersebut bukan termasuk dari Ajaran Islam.
Dan perlu diketahui, bahwa perayaan tahunan dalam Islam hanya ada dua: Iedul Fithri dan Iedul Adh-haa. [Lihat, HR. Ahmad (3/103)]
Rahmat Allah Bagi Musafir Pada Bulan Ramadhan
Musafir (orang yang sedang dalam perjalanan/safar) berbeda keadaannya dengan orang yang sedang berada di tempat tinggalnya. Musafir menanggung resiko lapar, lelah dan beratnya perjalanan. Karena rahmat-Nya, Allah memberikan kemudahan seorang yang bersafar, atau sakit untuk tidak berpuasa pada Bulan Ramadhan, tetapi harus menggantinya pada hari lain. Begitu juga wanita hamil, atau menyusui, boleh tidak berpuasa pada Bulan Ramadhan, apabila membahayakan kesehatannya.
Allah berfirman, “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”[QS. Al Baqarah: 185]
Jangan Nodai Bulan Ramadhan
Ada sebagian orang yang berpuasa, tetapi masih banyak kesalahan yang ia kerjakan. Misalnya, menjadikan malam seperti siang dan sebaliknya, meninggalkan shalat berjama’ah bagi kaum laki-laki, berlebih-lebihan dalam makan, mengumbar mata dan telingga serta lisan untuk yang haram, menghabiskan waktu dengan sia-sia, menyalakan kembang api atau mercon dan yang semisalnya. Padahal, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dan perbuatan dusta (waktu berpuasa), maka Allah tidak membutuhkan lapar dan hausnya (puasanya).” [HR. Al Bukhari (7/185)]
Hadits-hadits Lemah dan Palsu yang Populer di Bulan Ramadhan
Telah shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa Beliau telah bersabda, “Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya dia bersiap-siap mengambil tempat duduk di Neraka.” [HR. Al Bukhari dan Muslim]
Berangkat dari hadits ini, kami terdorong untuk membuat bab ini sebagai nasehat dan peringatan kepada kita agar tidak berdusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, menceritakan dan mengamalkannya.
Berikut ini beberapa contoh hadits lemah dan palsu yang banyak tersebar di masyarakat, padahal tidak shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, diantaranya:
Akhirnya, kita berdo’a kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar senantiasa memberikan kepada kita taufiq dan hidayah-Nya, sehingga kita tetap istiqamah dalam beribadah kepada-Nya, di Bulan Ramadhan, maupun di luar Bulan Ramadhan. Dan semoga Allah menerima amal-amalan kita dan menghapuskan dosa-dosa kita, aamiin…
تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَ مِنْكُمْ
“Semoga Allah menerima amal ibadah kami dan anda sekalian..”
Oleh: Abu Sahl Feri Al Kadawy dengan sedikit tambahan redaksi