Sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang bertemu dengan Nabi Muhammad, beriman kepadanya, dan meninggal dalam keadaan beriman. Sehingga, orang yang pernah bertemu dengan Nabi, akan tetapi tidak beriman kepadanya, maka dia bukan sahabat Nabi. Begitu juga, orang yang pernah bertemu dengan Nabi, dan beriman kepadanya, akan tetapi dia meninggal dalam keadaan tidak beriman misalnya dia ‘murtad’ sebelum meninggal, maka dia bukan sahabat Nabi.
Semua Ahlus Sunnah Cinta Kepada Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat mencintai semua sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena mencintai mereka termasuk iman, dan membenci mereka merupakan kemunafikan. Kita hanya diperintah Allah subhaanahu wa ta’ala untuk memintakan ampunan untuk mereka semua. Maka siapapun yang menghina mereka atau mencoreng nama baik mereka, dia bukan ahlus sunnah. Mereka kita cintai sesuai dengan derajat masing-masing, mulai dari yang paling mulia di antara mereka, lalu yang kemuliaannya di bawahnya, dan seterusnya. Dimulai dari para sahabat yang ikut serta dalam perang ‘Badar’, kemudian ‘Hudaibiyah’, kemudian yang ikut serta dalam bai’at ‘Ridwan’, kemudian para pejuang di perang ‘Uhud’.
آيَةُ الإِيْمَانِ حُبُّ الأَنْصَارِ وَ آيَةُ النِّفَاقِ بُغْضُ الأَنْصَارِ
“Tanda keimanan adalah cinta kaum Anshar, dan tanda kemunafikan adalah benci kepada kaum Anshar.” (HR. Bukhari dan Muslim)
‘Kaum Anshar’ adalah orang-orang beriman yang tinggal di kota Madinah, yang menerima kedatangan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang datang dari kota Mekah, dalam rangka hijrah. Sehingga, kaum Anshar termasuk ‘sahabat Nabi Muhammad’, karena mereka bertemu dengan Nabi, beriman kepada beliau.
Beberapa Bukti Mencintai Para Sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
1. Mendoakan mereka semua dengan doa kebaikan. Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَ لِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَ لَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr: 10)
2. Menyebarkan kebaikan-kebaikan mereka di tengah-tengah manusia, baik dengan lisan maupun tulisan. Dan menahan lisan agar tidak menyebutkan sesuatu tentang mereka yang bisa mengurangi kehormatan mereka.
3. Membersihkan nama baik para sahabat Nabi yang telah ‘dicemarkan’ oleh musuh-musuh Islam. Misalnya, orang-orang munafik menuduh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dengan tuduhan yang sangat ‘busuk’. Orang-orang munafik ketika merusak nama baik ‘Aisyah, sebenarnya mereka memiliki tujuan utama, yaitu: Pertama: Dengan merusak nama baik ‘Aisyah, secara tidak langsung nama baik Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga akan rusak, dan jika nama baik Nabi rusak maka dengan sendirinya agama Islam juga rusak. Kedua: Dengan merusak nama baik ‘Aisyah, secara tidak langsung syari’at Islam juga akan rusak. Karena ‘Aisyah menghafal dan meriwayatkan hadits-hadits Nabi dalam jumlah yang sangat banyak. Padahal seperempat ajaran Islam, diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
4. Mendidik anak-anak kita untuk menyayangi para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mencintai mereka, serta menempatkan mereka sesuai dengan kemuliaan mereka, tanpa melampaui batas. Dimulai dengan memperkenalkan kepada anak-anaknya nama-nama para sahabat Nabi. Atau dengan memberi nama anak kita dengan nama para sahabat Nabi. Sehingga, orang tua harus memiliki ‘referensi terpercaya’, yang di dalamnya terdapat kisah tentang para sahabat Nabi. Baik yang berkaitan dengan sifat-sifat mereka, perjuangan mereka, dan pengorbanan yang mereka persembahkan untuk Allah subhaanahu wa ta’ala, ketika membela Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyebarkan agama Islam ke seluruh penjuru dunia.
5. Menamai anak-anak kita dengan nama para sahabat Nabi. Kita dianjurkan memberi nama anak dengan nama yang baik. Misalnya nama para Nabi, dan nama orang-orang shalih. Termasuk nama para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena mereka semua adalah orang-orang yang mulia, bedasarkan ‘rekomendasi’ dari Allah. Bahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengganti nama sahabat Nabi yang maknanya tidak baik. Ini menunjukkan bahwa nama adalah ‘harapan’ orang tua kepada anaknya. Dengan memberi nama yang baik, orangtua berharap kelak anaknya menjadi anak yang shalih.
Derajat Para Sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
Para sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam semuanya mulia, hanya saja kemuliaan di antara mereka ‘bertingkat-tingkat’, sesuai dengan amal masing-masing.
1. Khulafa’ Rasyidun. Mereka adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, ‘Umar Al-Faruq, ‘Utsman Dzun Nurain, dan ‘Ali Al-Murtadha radhiyallahu ‘anhum.
2. Ash-Habusy Syura. Mereka adalah para sahabat Nabi pilihan, yang ditunjuk ‘Umar untuk menentukan siapa khalifah setelahnya. Jumlah mereka ada enam orang, yaitu: ‘Utsman, ‘Ali, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Thalhah, Zubair, dan Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhum. (Syarh kitab ‘Lum’atul I’tiqad’, Dr. Shalih Al-Fauzan, halaman 237). Dan mereka semua sepakat bahwa khalifah setelah ‘Umar adalah ‘Utsman radhiyallahu ‘anhuma.
3. Al-‘Asyrah Al-Mubasysyarun Bil Jannah. Mereka adalah para sahabat yang diberi kabar gembira masuk surga. Dan jumlah mereka ada sepuluh orang, yaitu: Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, Thalhah, Zubair, Sa’ad, Sa’id, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Abu ‘Ubaidah radhiyallahu ‘anhum.
4. Para sahabat yang ikut dalam perang Badar. Imam Adz Dzahabi berkata: “Nama para sahabat Nabi yang ikut serta dalam perang Badar telah dikumpulkan oleh Imam Dhiya’ud Din Muhammad bin ‘Abdul Wahid di dalam satu tulisan besar. Di situ beliau menyebutkan nama-nama yang telah disepakati ulama dan nama-nama yang masih diperselisihkan. Dan menyebutkan mereka sesuai dengan urutan huruf dalam kamus (Arab). Jumlah mereka mencapai sekitar 339 orang….”
5. Mereka yang hijrah sebelum Fathu Makkah. (Kitab ‘Mahdhul Ishabah’, Dr. Sulaiman Ar-Ruhaily)
6. An-Nuqaba’ Al-Itsna ‘Asyara. Yaitu: tokoh penting dari kalangan sahabat Nabi para peristiwa ba’iat ‘Aqabah yang ke dua. Dan jumlah mereka ada dua belas. Sembilan berasal dari suku ‘Khazraj’ dan tiga orang dari suku ‘Aus’. Dari suku Khazraj, mereka adalah: As’ad bin Zurarah, Rafi’ bin Malik, ‘Ubadah bin Shamit, Sa’d bin ‘Ubadah, Sa’d bin Rabi’, Malik bin Malik, ‘Abdullah bin Rawahah, Al-Barra’ bin Ma’rur, ‘Abdullah bin ‘Amr bin Haram. Sedangkan yang berasal dari suku Aus, mereka adalah: Usaid bin Khudhair, Sa’d bin Khaitsamah, Rifa’ah bin ‘Abdul Mundzir.
Istri-istri Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
Istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk dalam definisi ‘sahabat Nabi Muhammad’. Karena mereka pernah bertemu dengan Nabi, beriman kepadanya dan meninggal dalam keadaan beriman. Bahkan lebih dari itu, mereka adalah ibundanya orang-orang yang beriman.
Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman:
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَ أَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
“Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka…” (Al-Ahzab: 6) Maksudnya, istri-istri Nabi tidak boleh dinikahi setelah Nabi wafat.
Dan wajib bagi orang-orang beriman menghormati istri-istri Nabi, begitu juga mengagungkan mereka. (Kitab ‘Zadul Masir’, Ibnul Jauzi). Ibnu Katsir rahimahullah berkata, semua ulama sepakat mengatakan bahwa siapa saja yang menghina ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dan menuduhnya berselingkuh, maka dia kafir. Begitu juga menghina istri-istri Nabi yang lainnya, hukumnya sama, menurut Imam Ibnu Katsir rahimahullah. (Kitab ‘Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, karya Ibnu Katsir)
Istri-istri Nabi yaitu: Khadijah, Saudah, ‘Aisyah, Hafshah, Zainab bintu Khuzaimah, Ummu Salamah, Zainab bintu Jahsy, Juwairiyah bintu Harits, Ummu Habibah bintu Abi Sufyan, Shafiyyah, Maimunah radhiyallahu ‘anhunna. (Kitab ‘Mukhtarat Min Zadil Ma’ad’, syaikh Ibnu ‘Utsaimin, halaman 13-14).
Contoh-contoh Pengorbanan Para Sahabat Untuk Islam
Allah subhaanahu wa ta’ala memuji dan memuliakan para sahabat Nabi bukan tanpa sebab. Mereka mendapat kemuliaan ini karena ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta perjuangan dan pengorbanan besar yang besar untuk Islam dan kaum muslimin. Khadijah, ‘Utsman bin ‘Affan, ‘Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhum, dengan harta mereka berkorban di jalan Allah, mendukung dan menguatkan dakwah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abu Bakar Ash-Shiddiq dengan kedudukannya berkorban di jalan Allah memperkuat dakwah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, dengan keberanian dan kekuatannya membuat takut orang-orang yang mengganggu Nabi dan umat Islam. ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, dengan kecerdasannya mengembangkan dakwah Islam. Hamzah radhiyallahu ‘anhu, paman Nabi, dengan jiwa raganya berkorban di jalan Allah, melawan orang-orang musyrik dalam perang Uhud, hingga akhirnya beliau gugur sebagai salah satu ‘syuhada’ (orang-orang yang mati syahid). Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, rela menjadi pelayan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bisa menemani, melayani dan melihat kesehariannya sebaik-baik makhluk. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, rela hidup kekurangan, tinggal di serambi masjid, untuk bisa menimba ilmu dari Nabi sebanyak-banyaknya. Hingga, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menjadi perawi hadits terbanyak. Padahal, kesempatan bertemu dengan Nabi hanya sekitar empat tahun. Shuhaib bin Sinan Ar-Rumiy radhiyallahu ‘anhu rela semua hartanya dirampas orang-orang musyrik, demi bisa menyusul Nabi yang hijrah ke Madinah. Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma, rela menyerahkan ‘jabatan’ khalifah kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhuma, demi menciptakan persatuan umat Islam. Dan masih banyak bentuk-bentuk pengorbanan para sahabat Nabi. Maka mencintai mereka adalah kebahagiannya orang-orang beriman. Karena, seseorang akan dikumpulkan bersama orang-orang yang dicintainya di akherat nanti.
Fajri NS