PERKATAAN PARA ULAMA TENTANG TAKWA, MACAM DAN TINGKATANNYA
✍️ Penyebutan takwa luas, sebagaimana telah dipaparkan (dalam BC terdahulu) dan kondisi manusia dalam hal takwa tidak menyelisihi hal tersebut. Ada sebagian manusia membentengi dirinya dari kekal di neraka,yaitu dengan bertauhid dan membenarkan Rasulullah, tetapi ia tidak membentengi dirinya dari masuk neraka secara keseluruhan. Ia meremehkan kewajiban-kewajiban dan melakukan hal-hal yang diharamkan. Padahal (melaksanakan kewajiban dan menjauhi perkara yang diharamkan) bagian dari takwa meskipun tingkatannya paling rendah. Maka pelakunya tidak berhak menyandang nama takwa secara mutlak. Karena ia menentang adzab sehingga berhak mendapat hukuman, jika tidak mendapat rahmat dari Allah, sesungguhnya Allah mengampuni dosa di bawah syirik bagi yang dikehendaki-Nya.
✍️ Sebagian manusia yang lain membentengi dirinya dari kekufuran dan dosa-dosa besar, senantiasa taat, melaksanakan kewajiban-kewajiban, meninggalkan hal-hal yang diharamkan dari dosa-dosa besar hanya saja ia tidak menjauhkan diri dari dosa-dosa kecil dan tidak memperbanyak ibadah sunnah. Tidak ragu bahwa ia lebih dekat kepada kemenangan. Berdasarkan firman Allah:
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” (QS. An-Nisaa’: 31).
Dan sabda Nabishallallaahu ‘alayhi wasallam:
“shalat fardhu yang lima, (ibadah) dari jum’at ke jum’at dan (ibadah) dari ramadhan ke ramadhan merupakan penghapus (dosa-dosa kecil) yang dilakukan antara keduanya selama menjauhi kabair (dosa-dosa besar)”.
Hanya saja ia tidak membuat benteng yang sempurna dari neraka, karena ia hanya mencukupkan diri dengan perkara-perkara yang wajib dan jatuh pada dosa-dosa kecil yang dikawatirkan akan mendorongnya pada dosa-dosa besar. Ia tidak memiliki ibadah-ibadah sunnah juga tidak menjauhi perkara-perkara syubhat dan makruh yang dengan (memiliki ibadah sunnah dan menjauhi perkara syubhat dan makruh) akan sempurna ketakwaan seorang hamba.
✍️ Oleh karenanya Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya” (QS. Ali ‘Imran: 102).
Takwa yang sebenarnya adalah hendaknya seorang hamba bersungguh-sungguh meninggalkan dosa yang kecil maupun yang besar dan bersungguh-sungguh dalam seluruh ketaatan berupa kewajiban-kewajiban maupun perkara-perkara sunnah menurut kesanggupannya. Semoga banyak mengamalkan perkara-perkara sunnah bisa menggantikan apa yang kurang dari pelaksanaan kewajiban-kewajiban yang ringan, menjadi benteng yang kokoh antara hamba dengan dosa-dosa besar. Sebagaimana firman Allah, “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupan mu”_ (QS. At-Taghabun: 16). Inilah yang berhak menyandang nama muttaqi (orang yang bertakwa). Dia bersungguh-sungguh dalam ketaatan dan meninggalkan perkara-perkara haram sampai ia meninggalkan apa yang tidak ada faidahnya untuk memelihara dirinya dari perkara yang membahayakannya. Itulah takwa yang perkataan salaf berputar padanya.
✍️ Abu Ad-Darda’ berkata: takwa yang sempurna adalah seorang hamba bertakwa kepada Allah sampai ia membentengi dirinya dengan (amalan) seberat dzarrah dan sampai ia meninggalkan sebagian apa yang dipandang halal kawatir (ternyata) haram.
✍️ Ats-Tsauri berkata: mereka disebut muttaqin karena mereka bertakwa dengan perkara-perkara yang tidak bisa untuk membentengi.
✍️ Musa bin A’yun berkata: orang-orang yang bertakwa membersihkan diri dari hal-hal yang halal karena takut jatuh pada hal-hal yang haram maka Allah menyebut mereka muttaqin.
✍️ Maimun bin bin Mihran berkata: orang yang bertakwa lebih teliti mengoreksi dirinya daripada sekutu terhadap sekutunya. Sungguh Abu Hurairah pernah ditanya tentang takwa, beliau berkata: pernahkah engkau melewati jalan berduri? Penanya menjawab: ya. Beliau berkata: apa yang kamu lakukan? Ia berkata: aku menyingkirkannya atau melewatinya (dengan hati-hati) atau meninggalkannya. Beliau berkata: itulah takwa. Sungguh ibnu Al-Mu’tamir mengambil makna ini dan berkata: Bersihkan dosa yang kecil dan yang besar itulah takwa. Berbuatlah seperti orang yang berjalan di atas tanah berduri waspada pada apa yang dilihat. Jangan menyepelekan dosa kecil, sesungguhnya gunung tersusun dari kerikil
✍️ Imam Ahmad berkata: takwa adalah meninggalkan hasrat hafsu untuk mendapat (ridha) yang kamu takuti (Allah). Dikatakan: takwa yaitu takut terhadap Yang Maha Tinggi, bersiap-siap untuk menyongsong hari keberangkatan (ke akhirat) dan beramal dengan apa yang diturunkan (Al-Qur’an). Dan dikatakan juga: takwa adalah Allah Ta’ala tidak melihatmu ketika Dia merlarangmu dan tidak kehilangan kamu ketika memerintahkanmu.
TINGKATAN TINGKATAN IMAN
Takwa memiliki tiga tingkatan:
Pertama: takut dari adzab yang kekal dengan meninggalkan syirik, dasarnya firman Allah,
وَأَلْزَمَهُمْ كَلِمَةَ التَّقْوَى
“dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat-takwa” (QS. Al-Fath: 26)
Kedua: menghindarkan diri dari setiap dosa baik dalam hal melakukan (maksiat) atau meninggalkan (perintah) sampaipun dosa-dosa kecil menurut pendapat suatu kaum, itulah pengertian takwa secara syar’i. Hal tersebut adalah makna firman Allah,
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa” (QS. Al-A’raf: 96). Demikian juga perkataan ‘Umar bin Abdul Aziz: takwa adalah meninggalkan apa-apa yang diharamkan Allah dan melaksanakan apa-apa yang diperintahkan-Nya, adapun yang dirizkikan Allah setelah itu merupakan (tambahan) kebaikan di atas kebaikan.
Ketiga: membersihkan diri dari hal-hal yang menyibukkan batinnya dari (mengingat) Allah. inilah hakikat takwa yang dituntut dalam firman Allah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya” (QS. Ali ‘Imran: 102). Ibnu ‘Umar berkata: jangan engkau memandang dirimu lebih baik dari seseorang pun.
Secara Umum Makna Takwa Di Dalam Al-Qur’an Ada Tiga Macam
Pertama: bermakna takut dan segan. Allah berfirman,
وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ
“dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 41). Allah berfirman,
وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ
“Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah.”(QS. Al-Baqarah: 281)
Kedua: bermakna taat dan ibadah. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya” (QS. Ali ‘Imran: 102). Ibnu ‘Abbas berkata: taatilah Allah dengan sebenar-benarnya taat. Mujahid berkata: hendaknya Allah ditaati dan tidak dimaksiati, diingat dan tidak dilupakan, disyukuri dan tidak dikufuri.
Ketiga: bermakna membersihkan hati dari dosa. Inilah hakikat takwa bukan dua makna yang terdahulu. Tidakkah engkau melihat firman Allah,
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللَّهَ وَيَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ
“Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang- orang yang mendapat kemenangan” (QS. An-Nuur: 52). Allah menyebut kata taat dan takut kemudian takwa, maka engkau mengetahui bahwa hakikat takwa bermakna selain taat dan takut.
Tingkatan Takwa Ada Tiga;
Pertama : bertakwa dari syirik
Kedua: bertakwa dari bid’ah
Ketiga: bertakwa dari cabang-cabang maksiat
Sungguh benar-benar Allah telah menyebut ketiganya dalam satu ayat, yaitu firman Allah,
لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَآمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ثُمَّ اتَّقَوْا وَآمَنُوا ثُمَّ اتَّقَوْا وَأَحْسَنُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan.Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Al-Maa’idah: 93)
Takwa yang pertama adalah bertakwa dari syirik, dan (makna) iman (pada ayat di atas) setelah kata takwa (yang pertama) adalah tauhid. Takwa yang kedua adalah bertakwa dari bid’ah, iman yang disebut bersamanya (kata takwa yang kedua) adalah pernyataan janji setia terhadap as-sunnah dan al-jama’ah. Takwa yang ketiga adalah bertakwa dari cabang-cabang maksiat, pernyataan pada tingkatan ini dihadapkan pada ihsan, yaitu taat dan istiqamah dalam membersihkan hati, sehingga (takwa pada tingkatan ini) merupakan tingkatannya orang-orang yang istiqamah dalam menjalankan ketaatan. Ayat di atas terkumpul tiga tingkatan tersebut; tingkatan iman, tingkatan sunnah dan tingkatan istiqamah dalam ketaatan.
Ponpes Al Ukhuwah Sukoharjo, 3 September 2020
Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. hafidhohullaah