Pernikahan adalah suatu ikatan suci yang mengikat seorang lelaki dengan seorang perempuan. Pernikahan memiliki konsekuensi yang mulia, berupa tanggung jawab moral, penjagaan harga diri dan kelestarian hidup secara beradab.
Sang Suami yang sekaligus ayah, bertanggung jawab terhadap istri dan anaknya dengan memberi nafkah, menyayangi dan mendidik mereka. Sebaliknya, Sang Istri berkewajiban memberikan pelayanan dan perhatian kepada suaminya. Ia juga mencurahkan kasih sayang dan merawat Sang Suami beserta putra putri mereka. Demikianlah gambaran sebuah keluarga harmonis, sebagai hasil dari sebuah pernikahan yang Islami.
Islam memiliki perhatian besar terhadap pernikahan. Selain karena nilai kesakralannya yang begitu tinggi, pernikahan juga merupakan ibadah agung yang sangat dianjurkan di dalam Islam. Dengan sebab itu, Islam telah meletakkan batas pembeda yang jelas antara pernikahan dan perzinahan. Pernikahan dalam Islam memiliki acuan-acuan pokok yang tidak boleh dilanggar oleh orang yang akan menjalaninya. Persyaratan adanya wali, dua orang saksi, mahar, keridhaan kedua mempelai dan tuntutan-tuntutan lainnya agar ibadah yang sakral ini tidak ternodai dengan hal-hal berbau perzinahan dan prostitusi.
Sejatinya Nikah Mut’ah yang menjadi salah satu ajaran Syi’ah adalah propaganda perzinahan dengan label pernikahan, atau prostitusi berkedok ibadah suci. Ini jelas bukan dari Ajaran Islam, bahkan bertentangan dengan Ajaran Islam.
Tulisan ringkas ini mencoba memberikan gambaran dan penjelasan kepada kaum muslimin, serta membuka kesadaran mereka tentang rusak dan kejinya propaganda dan ajaran Nikah Mut’ah tersebut.
Istilah Nikah Mut’ah mungkin kurang begitu dikenal oleh umumnya Kaum Muslimin di Indonesia. Berbeda dengan istilah Nikah Siri (pernikahan yang tidak terdaftar oleh Pemerintah, –ed), nikah resmi melalui KUA, Nikah Adat dan beberapa istilah lokal yang sudah masyhur di tengah-tangah masyarakat. Sekalipun istilah Nikah Mut’ah baru mencuat beberapa waktu terakhir, sebenarnya model pernikahan yang dikenal dengan Nikah Mut’ah ini sudah ada dari jaman dahulu.
Nikah Mut’ah, adalah dua suku kata yang masing-masing memiliki makna tersendiri. Arti kata: ‘nikah’ secara umum telah dipahami oleh masyarkat, yaitu: ‘suatu akad yang mengikat dua anak Adam yang berlainan jenis’.
Sedang kata: ‘mut’ah’ sendiri berasal dari Bahasa Arab yang bermakna: ‘kesenangan, kenikmatan dan kelezatan’.
Nikah Mut’ah seringkali diistilahkan dengan ‘Kawin Kontrak’. Kenapa demikian? Karena sejatinya, wanita yang dinikahi secara mut’ah, layaknya seseorang yang mengontrak tubuhnya untuk dinikmati seorang lelaki selama tenggang waktu tertentu berdasarkan kesepakatan keduanya.
Dengan demikian, Nikah Mut’ah adalah ‘suatu kesepakatan yang terjadi antara seorang lelaki dengan seorang wanita untuk bersetubuh dalam jangka waktu, tempat dan bayaran tertentu yang telah disepakati’. Selama tenggang waktu tersebut Sang Lelaki berhak menyetubuhi Sang Wanita dan Sang Wanita berkewajiban memenuhi keinginan sex Sang Lelaki.
Nikah Mut’ah dilaksanakan tanpa perlu ada saksi dan wali, serta tidak perlu diumumkan. Bahkan,tidak harus ada pihak ketiga yang mengetahui. Sang Lelaki juga tidak berkewajiban memberi nafkah, ia hanya perlu membayar upah mut’ah. Jika telah selesai masa tenggang mut’ah, maka hubungan keduanya pun berakhir.
Jika wanita yag di-mut’ah kemudian hamil, maka Sang Lelaki tidak berkewajiban terhadap jabang bayi yang dikandung, baik nafkah, atau semisalnya. Nafkah Si Anak dari bayi sampai dewasa menjadi tanggung jawab Sang Ibu yang mengandungnya.
Nikah Mut’ah adalah salah satu adat kebudayaan masyarakat jahiliyah, jauh sebelum datangannyaIslam. Pada awal-awal kemunculan Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau sempat memberikan kelonggaran kepada para shahabat radhiyallahu ‘anhumuntuk melakukan Nikah Mut’ah ini dalam batasan tertentu. Akan tetapi, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian mengharamkannya untuk selamanya.
عَنْ عَلِـيّ بْنِ أَبِـي طَالِبٍ رَضِيَ الله عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَـهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْـبَرَ وَ عَنْ أَكْلِ لُـحُوْمِ اْلـحِمَرِ اْلإِنْسِيَّةِ
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallammelarang menikahi wanita secara mut’ah dan memakan daging keledai piaraan pada terjadi Peperangan Khaibar.” [HR. Al Bukhari dan Muslim]
قال سَبْرَةُ الْـجُهَنِـي أَنَّ رَسُوْلَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نـَهَى عَن الـمُتْعَةِ وَقَالَ: إِنَّـهَا حَراَمٌ مِنْ يَوُمِكُمْ هَذاَ إِلَى يَوْمِ اْلقِيَامَةِ …
Sabrah Al Juhaniy berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang Nikah Mut’ah. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Nikah Mut’ahhukumnya haram sejak hari ini hingga Hari Kiamat.” [HR. Ibnu Hibban]
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنـِّي قَدْ كُنْتُ أَذَنْتُ لَكُمْ فِـي اْلاِسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ وَ إِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذَالِكَ إِلَـى يَوْمِ اْلقِيَامَةِ
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya dahulu aku pernah mengijinkan kalian menikahi perempuan secara mut’ah dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai Hari Kiamat.” [HR. Muslim]
Dengan demikian, Nikah Mut’ah adalah perbuatan haram yang dilarang dalam agama, sebagaimana yang tertera secara gamblang pada beberapa hadits di atas.
Jika kita mau berfikir sejenak, tentu akan bertanya: “Apa bedanya bentuk pernikan seperti ini dengan dunia pelacuran?” Bagi para pemuja kemaksiatan, pemuja hawa nafsu dan penganut keyakinan sesat akan tetap mengatakan: “Beda”. Kenapa demikian? Karena Nikah Mut’ahmerupakan perbuatan yang diidam-idamkan oleh nafsu mereka dan dibungkus dengan nama ibadah.
Meskipun Nikah Mut’ah merupakan ajaran dan perilaku di Zaman Jahiliyah dahulu, akan tetapi ada sekelompok, atau segolongan manusia yang masih melestarikannya. Bahkan, mereka menekuninya atas nama agama dan ibadah. Mereka adalah penganut Agama Syi’ah.
Agama Syi’ah ini dibuat oleh Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam, telah melestarikan ajaran dan perilaku jahiliyah ini dengan mengatasnamakan Islam dan Ajaran Ahlul Bait.
Diantara dasar Ajaran Syi’ah dalam melegalkan Nikah Mut’ah, atau kawin kontrak adalah sebuah riwayat dusta yang disandarkan kepada Imam Ja’far Ash Shadiq rahimahullah. Dia berkata:“Sesungguhnya mut’ah adalah agamaku dan agama bapak-bapakku. Barangsiapa yang mengamalkan mut’ah, maka dia telah mengamalkan agamanya. Dan, barangsiapa mengingkarinya,maka dia mengingkari agama kami dan berkeyakinan dengan selain agama kami.” [Man LaaYahdhuruhu Al Faqih]
Sebagai seorang Muslim yang masih memiliki akal sehat tentu merenung dan bertanya-tanya dalam hati: “Pantaskah perilaku nista ini menjadi ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Ahlul Bait beliau? Agama Islam manakah yang meletakkan sebuah tuntunan pernikahan yang tak bertanggung jawab ini untuk dijalankan oleh para pemeluknya?”
Kenyataannya, dampak kerusakan dari Nikah Mut’ah ini telah diungkapkan oleh mantan-mantan penganut Syi’ah.
Sayyid Husain Al Musawi, mantan Syi’ah dan juga ulama panutan mereka menuturkan, “Mut’ahtelah dipraktekkan dengan bentuk paling buruk, para wanita telah dihinakan sehina-hinanya. Mayoritas mereka memuaskan nafsu birahinya atas nama agama di balik tabir yang bernama mut’ah.” [Lillaahi Tsumma lit Taarikhi]
Al Imam Al Alusiy berkata, “Siapa saja yang memperhatikan mut’ah yang dipraktekkan oleh penganut Syi’ah (Rafidhah) pada zaman ini, ia tidak butuh dalil (untuk menyatakan), bahwa hukumnya sama seperti zina. Sungguh, seorang wanita berzina dengan dua puluh orang laki-laki dalam waktu sehari semalam dan Sang Wanita tersebut mengatakan ini adalah mut’ah.” [Ushul Madzhab Syi’ah]
Suatu waktu Khameini (yaitu, Ayatullah Khameini, Sang Revolusioner Iran) ditemani Dr. Sayyid Husain Al Musawi mengadakan perjalanan ke Irak, tepatnya ke arah barat sekitar setengah jam perjalanan dari Kota Mosul. Sayyid Husain Al Musawi mengisahkan:
“Di saat perjalanan pulang, kami melewati Baghdad dan Imam (Khameini) hendak beristirahat dari keletihan perjalanan. Dia memerintahkan untuk menuju daerah peristirahatan yang di sana tinggal seorang laki-laki asal Iran bernama Sayid Shahib. Antara dia dan imam terjalin hubungan persahabatan yang cukup kental.
Sayid Shahib merasa bahagia dengan kedatangan kami. Kami sampai di rumahnya waktu Dhuhur, dia membuatkan makan siang untuk kami dengan hidangan yang sangat luar biasa. Sayid Shahib menghubungi beberapa kerabatnya, lalu mereka pun datang. Rumah menjadi ramai dalam rangka menyambut kedatangan kami. Sayid Shahibpun meminta kami untuk menginap di rumahnya pada malam itu dan Imam menyetujuinya. Ketika waktu Isya’, dihidangkan makan malam kepada kami. Orang-orang yang hadir mencium tangan Imam dan menanyakan tentang beberapa masalah dan Imam menjawabnya. Ketika tiba saatnya untuk tidur dan orang-orang sudah pulang, kecuali tuan rumah, Imam Khameini melihat anak perempuan yang masih kecil yang berumur sekitar empat, atau lima tahun, tetapi dia sangat cantik. Imam meminta kepada bapaknya, yaitu Sayid Shahib untuk menghadirkan anak itu kepadanya agar dia melakukan mut’ah dengannya. Maka, Si Bapak menyetujuinya dan ia merasa sangat senang. Lalu, Imam Khameini tidur dan anak perempuan ada di dekapannya, sedangkan kami mendengar tangisan dan teriakannya.” [Lillaahi Tsumma lit Taarikhi]
Dr. Sayyid Husain Al Musawi berkata, “Seorang perempuan menemuiku, ia menuturkan suatu kejadian yang terjadi pada dirinya. Dia mengabarkan, bahwa seseorang tokoh yang bernama Sayyid Husain Ash Shadr telah melakukan mut’ah dengannya sekitar dua puluh tahun yang lalu, sehingga dia hamil. Ketika Sayyid Husain Ash Shadr telah jenuh dengannya, maka ia pun mengakhirinya. Setelah beberapa waktu perempuan itu melahirkan anak perempuan dan ia bersumpah, bahwa ia hamil dari Sayyid Husain Ash Shadr, karena dirinya tidak melakukan mut’ah dengan laki-laki lain.
Setelah anak perempuan ini besar dan tumbuh menjadi seorang remaja dan layak untuk menikah, tiba-tiba ibunya mengetahui, bahwa anaknya sedang hamil. Setelah ditanya tentang sebab kehamilannya, maka dia menuturkan, bahwa dia telah dimut’ah oleh Sayyid Husain Ash Shadr yang menyebabkan ia hamil. Sang Ibu tercengang dan hilang kendali dirinya sembari mengabarkan kepada putrinya, bahwa Sayyid Husain Ash Shadr adalah bapaknya sendiri. Lalu dia menceritakan selengkapnya mengenai pernikahannya (ibu wanita) dengan Sayid Shadr dan bagaimana bisa hari ini Sayid Shadr menikah dengan anaknya dan anak Sayid Shadr juga?!
Kemudian dia datang kepadaku menjelaskan tentang sikap tokoh tersebut terhadap dirinya dan anak yang lahir darinya. Sesungguhnya kejadian seperti ini sering terjadi. Salah seorang dari mereka melakukan mut’ah dengan seorang gadis, yang di kemudian hari diketahui bahwa dia itu adalah saudarinya dari hasil nikah mut’ah. Sebagaimana mereka juga ada yang melakukan nikah mut’ah dengan istri bapaknya.
Di Iran, kejadian seperti ini tak terhitung jumlahnya. Kami membandingkan kejadian ini dengan firman Allah Ta’ala, “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (diri)nya sehingga Allah mampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An-Nur:33)
Kalaulah mut’ah dihalalkan, niscaya Allah tidak akan memerintahkan untuk menjaga kesucian dan menunggu sampai tiba waktu dimudahkan baginya untuk urusan pernikahan, tetapi Dia akan menganjurkan untuk melakukan mut’ah demi memenuhi kebutuhan biologisnya daripada terus-menerus diliputi dan dibakar oleh api syahwat. [Lillaahi Tsumma Lit Taarikhi]
Mut’ah hakekatnya adalah perzinahan berkedok agama. Cukuplah beberapa fakta dan kisah-kisah nyata di atas menjadi bukti, betapa rusaknya ajaran Nikah Mut’ah ini. Dan semoga uraian ringkas ini bermanfaat bagi Kaum Muslimin.
| Oleh: Abdullah Al Jawy dengan sedikit tambahan