Diantara bentuk kasih sayang Allah kepada umat manusia adalah dengan dibangkitkannya para ulama di tengah-tengah mereka, menerangi jalan mereka dengan ilmu yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wariskan kepada mereka. Terbukti sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hingga sekarang tidak ada satu masa, kecuali terdapat ulama pada masa itu.
Hanya saja, ketika disebutkan ‘Imam Empat’, segera Kaum Muslimin mengetahui, bahwa yang dimaksud adalah Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad rahimahumullah. Padahal kita ketahui,ada banyak Imam selain mereka. Hal tersebut tidak lain, karena kemuliaan yang Allah berikan kepada mereka.
Maka, penting bagi kita untuk mengetahui biografi mereka, meskipun hanya sedikit. Terlebih di zaman ini, di saat begitu derasnya arus yang ‘menyeret’ Kaum Muslimin untuk mengidolakan orang-orang yang sebenarnya tidak pantas untuk dijadikan idola. Laa haula wa-laa quwwata illaa bi–llaah..
Nama beliau adalah An Nu’man, ayah beliau bernama Tsabit dan kakek beliau bernama Zutha seorang Persia. Beliau lahir pada tahun 80 H, sedangkan tahun wafatnya diperselisihkan, yang benar adalah tahun 150 H. Sebagaimana dalam Kitab Manaqib Al Aimmah Al Arba’ah karya Imam Ibnu ‘Abdul Hadi Al Maqdisy rahimahullah.
Imam Abu Hanifah rahimahullah adalah yang paling dekat zamannya dengan Nabi shallallahu‘alaihi wasallam diantara Imam Empat. Beliau pernah berjumpa dengan beberapa shahabat radhiyallahu ‘anhum. Imam Abu Hanifah rahimahullah juga memiliki riwayat dari sejumlah pembesar tabi’in (murid para shahabat radhiyallahu ‘anhum), seperti ‘Atha’ bin Abi Rabbah yang merupakan salah seorang murid Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu.
Suatu ketika Imam Abu Hanifah rahimahullah dalam majelis ilmu menyalahkan salah satu pendapat Imam Hasan Al Bashry rahimahullah, sedangkan Imam Hasan Al Bashry rahimahullah sendiri merupakan seorang Imam yang dicintai kaum muslimin kala itu, tiba-tiba salah seorang yang hadir di majelis berkata kepada Imam Abu Hanifah rahimahullah:
“Wahai anak pezina, engkau menyalahkan Hasan Al Bashry?!
Tidak berubah sama sekali raut muka Imam Abu Hanifah rahimahullah mendengar celaan yang sangat melukai hati itu dan terus melanjutkan perkataannya di majelis tersebut seolah tidak adaapa-apa dan berkata:
“Demi Allah, Hasan Al Bashry (dalam hal ini) salah dan ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu benar.” Lalu, Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata:
مَنْ ضَاقَ بِنَا صَدْرُهُ فَإِنَّ قُلُوْبَنَا قَدْ اتَّسَعَتْ لًهُ
“Siapa saja yang dadanya sempit lantaran kami, maka hati kami benar-benar lapang untuk(memaafkan)–nya.”
Imam Abu Hanifah rahimahullah lahir dan tumbuh di Kufah, Negeri Iraq. Mengawali perkembangan beliau dengan menghafal Al Qur–an, kemudian hadits-hadits Nabi shallallahu‘alaihi wasallam.
Keluarga beliau merupakan keluarga para pedagang. Negeri Iraq, baik sebelum maupun sesudah Islam masuk ke negeri tersebut, merupakan daerah yang telah berkembang Ilmu Filsafat Yunani dan kelompok-kelompok sesat, seperti Syi’ah, Khawarij, serta Mu’tazilah. Juga berkembang berbagai pemikiran yang saling berbenturan, baik dalam bidang keyakinan agama maupun politik.
Dengan kejeniusan beliau, Imam Abu Hanifah rahimahullah saat masih muda telah meguasai ilmudari para ulama Iraq dan riwayat-riwayat dari shahabat radhiyallahu ‘anhum. Bersamaan dengan kesibukan beliau dalam berdagang yang merupakan mata pencaharian keluarga.
Kejeniusan Imam Abu Hanifah ini lantas diketahui para ulama ketika itu, hingga mereka mendorong beliau untuk fokus mendalami ilmu agama. Diriwayatkan, beliau pernah berkata:
“Suatu hari aku pernah melewati Asy Sya’biy, beliau sedang duduk, lalu memanggilku dan berkata kepadaku: ‘Fokuslah untuk mendalami ilmu agama dan menyertai para ulama, karena sesungguhnya aku melihat pada dirimu ada kecemerlangan dan semangat.’.”
Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata, “Perkataan Asy Sya’biy tersebut terpatri dalam hatiku, lantas aku fokus dalam mendalami ilmu agama, hingga Allah memberi manfaat kepadaku dengan sebab perkataannya itu.”
Imam Abu Hanifah rahimahullah juga pernah berguru kepada Imam Hammad bin Abi Sulaimanselama 18 tahun.
Nama beliau adalah Malik, ayah beliau bernama Anas, ibu beliau adalah Al ‘Aliyah dan kakekbeliau bernama Anas. Imam Adz Dzahaby dalam Siyar A’lamin Nubala berkata,
“Kelahiran Imam Malik berdasarkan riwayat yang paling benar adalah tahun 93 H, tahun wafatnya Anas, pelayan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam….”. Imam Malik wafat pada usia 86 tahun.
Keluarga Imam Malik adalah keluarga yang perhatian terhadap ilmu agama dan periwayatan hadits. Kakek beliau adalah seorang pembesar tabi’in. Ditambah lagi, lingkungan tempat beliau tinggal dan tumbuh adalah Kota Madinah yang merupakan kota tujuan hijrah Nabi shallallahu‘alaihi wasallam, kota yang pernah menjadi saksi turunnya wahyu dan kota yang pernah ditinggali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Imam Syafi’i berkata: “Imam Malik adalah guruku, darinya-lah aku mengambil ilmu.”
Imam Syafi’i juga berkata:
“Jika bukan karena Imam Malik dan Imam Ibnu ‘Uyainah, pastilah ilmu-nya (penduduk) Hijaz sirna.”
Beliau mengawali perjalanan menuntut ilmu dengan menghafal Al Qur–an, kemudian semakin besar keinginan beliau untuk mendalami ilmu agama, hingga suatu ketika berkata kepada ibunya,bahwa beliau ingin melakukan perjalanan untuk mencari ilmu agama. Sang Ibu tidak menghalangi, atau khawatir akan masa depan beliau, akan tetapi justru mendukung dan memakaikan kepada beliau pakaian yang paling bagus dan berpesan:
“Pergilah kepada Rabi’ah, pelajari akhlaknya sebelum ilmunya!”
Imam Adz Dzahaby dalam Siyar A’lamin Nubala mengatakan, bahwa Rabi’ah adalah seorangImam dan Mufti Madinah.
Setelah itu, Imam Malik belajar kepada Imam Ibnu Hurmuz yang sangat ahli dalam membantah para tokoh kesesatan selama 13 tahun. Beliau juga belajar kepada Imam Nafi’ maula Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu dan Nafi’ merupakan orang yang sangat mengerti terutama tentang riwayatdari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau juga berguru kepada Ibnu Syihab Az Zuhry, Sa’id bin Al Musayyib dan para tokoh tabi’in yang lain.
Segala yang beliau miliki, baik harta maupun tenaga dicurahkan untuk perjalanan mencari ilmua gama, hingga beliau pernah menjual kayu atap rumah untuk biaya perjalanan yang penuh berkahini.
Nama beliau adalah Muhammad, ayah beliau bernama Idris, seorang Quraisy yang garis keturunannya terhenti pada anak keturunan Muththalib, saudara laki-laki kakek Nabi shallallahu‘alaihi wasallam yang bernama Hasyim. Riwayat-riwayat sepakat mengatakan, bahwa Imam Syafi’i lahir di Ghazzah, pada tahun 150 H dan beliau wafat di Mesir pada tahun 204 H.
Ar Rabi’ bin Sulaiman berkata:
“Imam Syafi’i membagi-bagi malamnya; sepertiga yang pertama (untuk) menulis, sepertiga yang kedua (untuk) shalat dan sepertiga yang lainnya untuk tidur.”
Qutaibah bin Sa’id berkata:
“Imam Ats Tsaury wafat, sikap wara’–pun mati. Imam Syafi’i wafat, Sunnah-sunnah pun mati. Dan Imam Ahmad bin Hanbal wafat, bid’ah–bid’ah–pun nampak ke permukaan.”
Beliau telah menghafal Al Qur–an sejak kecil di bawah asuhan Sang Ibu, karena Sang Ayah telah meninggal sejak beliau masih bayi. Setelah pindah ke Mekkah, mencari hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari para perawi hadits di sana. Selain menghafal hadits, beliau juga menulisnya dalam media yang mudah didapatkan kala itu. Kemudian, beliau tertarik mendalami Bahasa Arab dan pergi ke daerah pedalaman. Tujuannya adalah untuk mengambil Bahasa Arab yang masih murni. Hingga akhirnya beliau menjadi seorang ahli bahasa.
Barulah setelah itu fokus menuntut ilmu fikih dan hadits dari para ahli fikih dan ahli hadits di sana, hingga sejumlah imam, seperti Imam Sufyan bin ‘Uyainah dan Muslim bin Khalid AzZanjy mengkhususkan perhatian dan penghargaan untuknya.
Tekad untuk menuntut ilmu agama tidak berhenti sampai di situ, hingga suatu ketika sampailah khabar tentang Imam Malik. Sejak saat itu, beliau bertekad untuk mengambil ilmu dari Imam Malik. Sebelum berangkat, beliau tidak ingin pergi menuju Imam Malik tanpa membawasedikitpun dari ilmunya, akhirnya Imam Syafi’i meminjam kitab terkenal milik Imam Malik,yaitu Al Muwaththa’ dari seseorang di Mekkah, setelah membacanya bertambah kuat tekad untukmenuju Madinah.
Sesampainya di Madinah, beliau bertemu dengan Imam Malik, beliau memperkenalkan diri dan menceritakan kisahnya di Mekkah. Kala itu Imam Malik yang juga telah memiliki firasat berkatakepada Imam Syafi’i:
“Wahai Muhammad, bertakwalah kepada Allah dan jauhilah maksiat-maksiat, karena sesungguhnya kelak akan terjadi sesuatu yang besar pada dirimu! Sesungguhnya, Allah telah melemparkan cahaya di hatimu, maka jangan kau padamkan cahaya itu dengan maksiat…!”
Nama beliau adalah Ahmad, ayah beliau bernama Muhammad dan kakek beliau bernama Hanbal.Sebagaimana Imam Syafi’i, ayah Imam Ahmad meninggal dunia saat beliau masih bayi. Banyak ahli sejarah manyatakan, bahwa ayah beliau meninggal pada usia yang masih cukup muda, yaitu30 tahun. Beliau lahir di Baghdad pada tahun 164 H dan wafat pada tahun 241 H.
Imam Ibnu Abi Hatim berkata:
“Abu Bakar Muhammad bin ‘Abbas Al Makky memberitahukan kepadaku (suatu khabar), beliauberkata: ‘Aku mendengar Al Warkany, tetangga Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Suatu hari, ketika Imam Ahmad bin Hanbal wafat, 20 ribu orang Yahudi, Nashrani dan Majusi masukIslam.’.”
Imam Syafi’I rahimahullah pernah berkata kepada Imam Ahmad:
“Engkau lebih mengetahui tentang hadits-hadits shahih dari pada kami, jika ada hadits shahihberitahukan kepadaku, agar aku berpendapat dengannya, (sama saja) apakah dari orang Kufah,atau, Bashrah, atau Syam!”
Pada masa kecil beliau, Sang Ibu telah mengarahkan Imam Ahmad untuk mendalami ilmuagama. beliau telah menghafal Al Qur–an sejak kecil. Pada permulaan perjalanan menuntut ilmu, Imam Ahmad bin Hanbal lebih memilih untuk menjadi seorang ahli hadits yang meriwayatkan hadits dan menulisnya. Perjalanan mengumpulkan hadits dimulai pada tahun 179 H di Baghdad, ketika itu usia beliau masih sangat belia, 15 tahun. Akhir perjalanan mengumpulkan hadits yang beliau lakukan ini hingga tahun 186 H. Kemudian, beliau melanjutkan perjalanannya ke Bashrah, Kufah, Hijaz dan Yaman.
Beliau juga sempat berjumpa dengan Imam Syafi’i di Masjidl Haram, Mekkah, ketika beliaumenuju Hijaz pada tahun 187 H.
Di Yaman beliau berjumpa dengan imam ahli hadits terkenal, yaitu Imam ‘Abdur Razzaq. ImamAhmad menyertai Imam Abdur Razaq selama dua tahun dan dari Imam ‘Abdur Razzaq beliau mendapatkan banyak hadits dari jalur Az Zuhry dan Ibnul Musayyib.
Imam Ahmad juga pernah berguru kepada Imam Abu Yusuf yang merupakan murid Imam Abu Hanifah. Selain ilmu hadits, Imam Ahmad juga mendalami fikih shahabat radhiyallahu ‘anhumdan tabi’in.
Inilah setetes dari lautan luas perjalanan hidup Imam yang Empat rahimahumullah.
| Oleh: Fajri NS.
| Sumber:
1. Siyar A’lamin Nubala’, Jilid 6, 8 dan 10;
2. Kitab Ta’rif Al ‘Awwam bin Arba’ah Al A’lam;
3. Kitab Manaqib Al Aimmah Al Arba’ah, karya Imam Ibnu ‘Abdul Hady Al Maqdisy.