Namanya dikenal umat Islam, dan jasa-jasanya dikenang sepanjang masa. Dia adalah Imam Nawawi rahimahullah. Nama aslinya adalah Yahya bin Syaraf. Kunyahnya adalah ‘Abu Zakaria’. Lahir di bulan Muharram tahun 630 H, di daerah Nawa.
Ciri fisiknya menurut keterangan Imam Dzahabi adalah berbadan tegap dan berwibawa. Jenggot berwarna hitam, lebat dan ada sedikit uban. Berani dalam menyuarakan kebenaran, dan tidak takut kepada celaannya orang yang mencela. Disegani penguasa dan alim ulama lainnya.
Gelar Kemuliaan Imam Nawawi
Imam Dzahabi memberikan beberapa gelar mulia untuk Imam Nawawi. Diantaranya adalah ‘Asy-Syaikh’, ‘Al-Imam’, ‘Al-Qudwah’ (Panutan), ‘Al-Hafizh’, Zuhud, Ahli Ibadah, Ahli Fiqih, ‘Mujtahid Rabbani’, ‘Syaikhul Islam’, ‘Muhyidin’ (Yang Menghidupkan Ajaran Agama).
Imam Ibnu Katsir juga memberi beberapa gelar kemuliaan, seperti ‘Syaikhul Madzhab’ (Syaikhnya madzhab Syafi’i) dan ‘Kabirul Fuqaha’ (Pemukanya para ahli fiqih).
Al-Yafi’i memberikan gelar yang tidak kalah mulia, yaitu ‘Al-Wali Al-Kabir’ (Wali Allah yang Agung) dan ‘Nashirus Sunnah’ (Penolong Sunnah Nabi).
Cukup satu gelar kemuliaan dari alim ulama sebagai bukti akan ketinggian derajat Imam Nawawi. Terlebih lagi jika ternyata ada sekian banyak gelar dari sekian banyak ulama. Dan semuanya tidak didapatkan dengan ‘gratis’. Imam Nawawi mendapatkannya dengan penuh perjuangan dan pengorbanan. Baik tenaga, waktu, pikiran maupun harta.
Disebutkan di dalam kitab ‘Qimmatuz Zaman ‘Indal ‘Ulama’ bahwa setiap harinya Imam Nawawi menghadiri 12 majelis ilmu. Di majelis-majelis tersebut Imam Nawawi menyimak, membaca, menghafal dan menulis.
Dua belas majelis dalam satu hari itu, perinciannya sebagai berikut:
Dua pelajaran untuk kitab ‘Al-Wasith’ (ilmu fiqih), satu pelajaran untuk kitab ‘Al-Muhadzdab’ (ilmu fiqih), satu pelajaran untuk kitab ‘Al-Jam’u Baina Ash-Shahihain’ (ilmu hadits), satu pelajaran untuk kitab ‘Shahih Muslim’ (hadits), satu pelajaran untuk kitab ‘Al-Luma’ (ilmu nahwu), satu pelajaran untuk kitab ‘Ishlahul Manthiq’ (ilmu bahasa), satu pelajaran untuk ilmu tashrif, dua pelajaran untuk ilmu ushul fiqih, satu pelajaran untuk ilmu ‘rijalul hadits’, dan satu pelajaran untuk ilmu ushuludin.
Disebutkan di dalam kitab ‘Qimmatuz Zaman’, suatu ketika Imam Badrud Din, salah satu muridnya, bertanya kepada gurunya tentang tidurnya. Imam Nawawi menjawab: “Jika aku sangat mengantuk, aku sandaran ke tumpukan kitab-kitab sebentar, lalu aku bangun lagi.”
Di luar majelis pun sibuk dengan muraja’ah. Hidup dengan kesederhanaan. Dan keadaan ini berlangsung selama 6 tahun. Setelah itu Imam Nawawi mulai menulis karya ilmiyah, mengajar, dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Sebab-sebab Adanya Sosok Luar Biasa Seperti Imam Nawawi
Disebutkan di dalam kitab ‘Min A’lamis Salaf’, bahwa ada dua sebab utama yang menjadikan Imam Nawawi demikian mulianya. Pertama sebab yang diusahakan. Dan yang ke dua adalah sebab yang murni anugerah dari Allah. Berikut ini perinciannya:
Menempuh perjalanan jauh untuk mencari ilmu. Tinggal di lingkungan madrasah ilmiyah. Usaha keras dalam belajar. Banyaknya majelis ilmu yang dihadirinya. Kuatnya hafalan dan seringnya meneliti. Kemuliaan para guru dan perhatian mereka yang serius kepadanya. Banyaknya kitab-kitab ulama yang dimilikinya. Dan kesibukannya mengajar.
Ibadah dan Kesederhanaan Hidup Imam Nawawi
Salah satu murid Imam Nawawi yang bernama Ibnu ‘Athar mengatakan: “Imam Nawawi sangat sering membaca Al-Qur’an dan dzikir.” Imam Ibnu Katsir mengatakan bahwa Imam Nawawi selalu puasa sunnah. Imam Al-Yafi’i berkata: “Imam Nawawi sangat sering begadang untuk ibadah, membaca Al-Qur’an dan menulis.”
Imam Nawawi sabar dengan kesederhanaan hidup. Rela hanya makan makanan dan memakai pakaian yang sederhana. Bahkan hingga wafatnya belum sempat menikah. Disebutkan di dalam kitab ‘Qimmatuz Zaman’, bahwa Imam Nawawi hanya makan satu kali dalam sehari, yaitu makan malam.
Keteguhan Mempertahankan Pendapat
Ketika itu ada seorang penguasa yang berencana menarik ‘uang iuran’ dari rakyat, untuk digunakan sebagai biaya perang melawan Tatar di Syam. Kemudian sang penguasa meminta pertimbangan seluruh ulama yang ada. Dan mereka semua menyetujui rencana sang penguasa.
Untuk memastikan, sang penguasa bertanya apakah ada ulama yang tidak setuju? Lalu mereka menjawab bahwa Imam Nawawi tidak setuju dengan rencana ini. Lalu Imam Nawawi dipanggil menghadap sang penguasa, dan ditanya alasannya kenapa tidak setuju.
Dengan tenang dan tegas Imam Nawawi mengatakan bahwa seharusnya biaya perang tersebut diambil dari harta sang penguasa, bukan dari rakyat. Karena memang ketika itu sang penguasa memiliki harta yang sangat banyak.
Mendengar alasan ini sang penguasa marah dan memerintah Imam Nawawi supaya pergi meninggalkan Dimasyq. Dan akhirnya Imam Nawawi menuruti apa yang diperintahkan. Kemudian para alim ulama yang lainnya mendesak sang penguasa agar mengembalikan Imam Nawawi ke Dimasyq. Mereka mengatakan bahwa Imam Nawawi adalah panutan mereka. Pemuka para alim ulama.
Hingga akhirnya sang penguasa mengirim utuasan menemui Imam Nawawi supaya berkenan kembali ke Dimasyq. Akan tetapi kali ini Imam Nawawi tidak menuruti perintahnya.
Karya Ilmiyah Imam Nawawi
Karya ilmiyah Imam Nawawi sangat banyak dan bermanfaat. Bahkan karya ilmiyahnya tidak hanya di satu atau dua bidang ilmu. Beliau mulai menulis pada tahun 660 H. Karya di bidang hadits misalnya ‘Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim Ibni Al-Hajjaj’, ‘Riyadhus Shalihin’, ‘Al-Arba’in An-Nawawiyah’, ‘Syarh Shahih Bukhari’ (belum sempurna), dan ‘Al-Adzkar’ (kumpulan doa dan dzikir).
Di bidang ilmu fiqih misalnya ‘Raudhatut Thalibin’, ‘Al-Majmu’ Syarhu Al-Muhadzdzab’, ‘Al-Minhaj’, ‘Al-Idhah’ dan ‘At-Tahqiq’.
Di bidang ilmu tarbiyah, misalnya ‘At-Tibyan Fi Adabi Hamalatil Qur’an’ dan ‘Bustanul ‘Arifin’.
Di bidang ilmu sejarah dan bahasa, misalnya ‘Tahdzibul Asma wal Lughat’, ‘Thabaqat Al-Fuqaha’ dan ‘Tahrir At-Tanbih’.
Dan masih banyak lagi karya-karyanya. Sebagiannya belum sempat disempurnakan Imam Nawawi dikarenakan takdir Allah telah mendahuluinya. Misalnya kitab ‘Syarh Sunan Abu Dawud, yang menjelaskan makna dan fiqih dari Sunan Abu Dawud. Begitu juga kitab ‘Al-Majmu’.
Kitab ‘At-Tahqiq’ termasuk kitab yang paling penting untuk mengetahui pendapat madzhab Syafi’i yang ‘rojih’. Begitu juga kitab ‘Al-Minhaj’. Oleh karena itu dua kitab ini sangat diperhatikan oleh ulama-ulama madzhab Syafi’i.
Kitab ‘Riyadhus Shalihin’ maupun ‘Al-Arba’in’, termasuk karya Imam Nawawi yang dikenal dan diterima kaum muslimin di dunia. Dan kitab-kitab fiqihnya menjadi referensi utama khususnya dalam fiqih madzhab Syafi’i.
Wafatnya Imam Nawawi
Salah satu muridnya yang bernama Ibnu ‘Athar mengatakan:
“Sampai sebuah kabar kepadaku tentang sakitnya Imam Nawawi. Lalu aku keluar dari Dimasyq untuk menjenguknya. Beliau sangat senang, lalu memerintah aku supaya kembali pulang. Setelah terlihat sehat, saya pamit meninggalkan beliau, hari Sabtu, tanggal 22 Rajab. Di malam Selasa, tanggal 24 Rajab, tahun 676 H, Imam Nawawi berpulang ke rahmat Allah.”
Semoga Allah menempatkannya di tempat kemuliaan di alam akherat.
Referensi:
1. Qimmatuz Zaman ‘Indal Ulama, karya syaikh Abdul Fatah Abu Ghuddah.
2. Min A’lamis Salaf, karya Dr. Ahmad Farid.
Fajri. NS